Daniela diam mematung dengan raut wajah tidak mengerti. Hidung, bibir, dan matanya memerah, tangannya juga semakin tak bertenaga hingga membuat saputangan pribadinya terjatuh.
Keduanya sama-sama melirik ke arah saputan, Damar ingin mengambilnya, namun Daniela sudah sigap lebih dulu berjongkok. Suasana jadi kaku.
Daniela bangun dari posisi jongkoknya sambil membersihkan saputangan dengan isak tangis yang masih membekas. Saat matanya hendak menatap lurus ke arah Damar, ternyata laki-laki itu sudah berada lebih dekat dengannya. Tubuh Damar terasa hangat dan mampu menyelimuti seluruh sisi tubuhnya yang memang lebih kecil.
Damar memeluk Daniela dengan erat, "Aku juga sayang sama kamu..." Bisiknya. Ia telaten menglus pucuk kepala Daniela dengan lembut seperti sedang mengalirkan aura ketenangan.
Brak!
Pintu ruangan terbuka kasar, "CIE-CIE!" Shalu, Rio, Altav, dan para anggota tim basket ada di balik sana menguping pembicaraan Daniela dan Damar. Mereka bahkan berteriak menyoraki dua sejoli yang baru bersatu itu. "Cie... peluk-pelukan segala lagi, idih, mau dong dipeluk juga Damarku."
Daniela malu, namun Damar enggan melepaskan dekapannya. Ia malah mendorong pintu ruangan agar tertutup kembali walau sambil tersipu juga, "Sana-sana ah, jangan ganggu." Omelnya.
"Oke, dengan senang hati saya akan menutup pintu untuk bapak." Kata Rio, benar-benar bergerak menarik engsel dan menutupnya.
Damar terkekeh, lalu tanpa sadar ia mengecup pucuk kepala Daniela yang masih berada dalam dekapannya. "Jangan malu-malu lagi sekarang."
"Malah tambah malu." Kata Daniela, sambil balas memeluk Damar dan menyembunyikan wajahnya.
***
"Hing... Oaaak-oaaaaaaak!"
Gavin menangis saat tidak mau mengenakan topi namun dipaksa untuk mengenakannya oleh Ana.
Jeno menepis tangan Ana lalu memeluk Gavin dengan erat, "Jangan gitu ih, orang gak mau... Masa masih aja dipaksa." Omelnya. Tidak tega.
"Tahu nih Ana, kasihan Gavin jadi nangis." Kata Gea, tidak tega juga melihat tangisan bayi itu.
Ana menekuk wajahnya sambil mengenakan topi bola basket tersebut asal-asalan, "Orang pas di rumah aja mau, kenapa tiba-tiba malah nangis gitu? Caper aja dia tuh, biar orang-orang pada nengok." Ujarnya, sambil menepuk-nepuk Gavin.
"HING... OAAAAAK!" Gavin menangis lantang.
Jeno sampai melotot pada Ana karena istrinya itu lah penyebab awal mengapa Gavin menangis.
Melihat tatapan tajam dari Jeno, Ana malah menautkan alisnya. "Apa? Berisik dia tuh suruh diem."
"Ana..." Protes Mark, tidak setuju juga melihat Ana menyeletukan kalimat seperti itu.
Ana menoleh ke arah Mark yang ada di bangku paling pojok dari barisan, "Lagian dia tuh Kak, anaknya gak jelas banget. Kayak ada aura-aura ngajak ributnya gitu loh... masa kalau pagi tidur, giliran tengah malem bangun, baru bisa merem abis sholat subuh coba. Anak macam apa yang kayak begitu?" Keluhnya.
Kali ini Jeno tidak tahan, ia beranjak bangun dan tiba-tiba melangkah menuruni jajaran bangku penonton membawa Gavin dalam gendongannya.
"Sabar Na, namanya juga anak cowok. Kasihan tuh Jeno jadi repot sendiri." Kata Angel, paham.
Ana menekuk wajah sambil bersandar malas di bangkunya, "Bodo amat. Capek gue!" Keluhnya, sampai memiliki kantung mata karena begadang menemani Gavin yang sangat susah untuk tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu! 3
Teen Fiction"Ini adalah cerita anak-anak kami, yang entah mengapa cepat sekali beranjak dewasa... hingga tak terasa telah mengenakan seragam yang pernah kami kenakan─ putih abu" present by: (keturunan) nct dream note: Putih Abu! 3 - New Story adalah series tera...