New Story #Extra

593 62 80
                                    

Masa kuliah telah memasuki semester lima.

Shalu masih bertahan dengan bayang-bayang kematian Aro. Kenangan sampai hal-hal yang mereka lakukan bersama, masih terukir jelas di memorinya.

Telah berangsur empat tahun Aro meninggalkan kita semua. Peringatan hari kematiannya kembali Shalu lewatkan karena masih ada tugas yang menahannya di Aceh. Sukar terbang ke Jakarta dalam sehari suntuk, manusia perlu beristirahat.

Krek

Suara pintu kamar membuat Shalu menoleh. Ada Altav sedang membawakan buah potong dengan nampan berisi obat-obatan. "Udah waktunya ya? Padahal masih mau ngerjain tugas." Ia mengeluh. Efek samping obat membuatnya mengantuk.

Altav melangkah mendekati meja belajar. "Gak boleh gitu... tugas kan gak penting, yang penting harus minum obat tepat waktu biar Shalu cepet sembuh." Ia menaruh nampan di meja. Tangannya telaten membuka bungkus obat. Matanya melirik sekilas ke arah tugas yang menumpuk di meja belajar Shalu. "Coba nanti gue liat, siapa tau bisa bantu."

Shalu meraih lima butir obat tablet beragam warna dari telapak tangan Altav. "Gak ah... lo gak boleh kerjain tugas gue lagi. Gue bisa sendiri." Ia melahap seluruh obat tersebut dan mendorongnya dengan tegukan segelas air.

Altav yang melihat Shalu minum obat setiap hari saja merasa tidak kuat apalagi Shalu harus menambah butir obat-obatannya saat cek kesehatan yang rutin dilakukan setiap bulan.

"Tidur buruan, besok katanya mau ke Jakarta." Altav mengingatkan. Ia selalu menekan Shalu untuk bergerak melupakan masa lalu. "Sha..."

Shalu diam. Ia menunduk tak percaya diri. Pulang ke rumah rasanya ragu karena ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Bukan tentang Ana atau Jeno, orangtua yang ia rindukan. Namun... tentang Aro dan segala kenangan yang sudah mereka ukir selama masa-masa remaja. Bangku SMA yang awalnya terasa manis berubah pahit tanpa permisi. Malam prom adalah malam paling buruk seumur hidupnya. Ia jadi membenci semua itu. Aro dan segala kenangan yang menyertainya.

"Sha..." Altav pernah menekankan kalau semua itu harus dikenang dengan pemikiran positif, tapi kelihatannya Shalu sulit melakukannya. "Lo harus pulang, meskipun gue tau gak gampang dan mau gimana pun juga lo harus tengok makamnya Aro... gapapa, Sha, gak ada yang larang lo nangis di sana, atau mau jungkir balik, gapapa... asalkan lo kuat dan bisa nunjukin kalau semua yang udah lo lakuin bareng almarhum itu menyenangkan. Manis buat hidup lo selama ini... bukan beban... lo pasti bisa, Sha." Tangannya mengelus lembut punggung Shalu, mengalirkan energi positif.

Shalu meneteskan airmata dalam tundukannya. "Gue takut, Tav." Ia mengangkat kepala lalu memeluk tubuh Altav bersama airmata deras. "Hiks... gue takut..." Airmatanya mengalir bahkan isak tangis yang dulu, kembali terdengar lagi.

Altav paham. Betapa berat dan bingungnya berada di posisi Shalu. "Iya, gue ngerti, Sha..." Tangannya bergerak mendekap erat tubuh Shalu. "Tapi lo harus memperlakukan kenangan itu sama kayak lo memperlakukan Aro dulu... kalo lo cinta sama dia... lo harus mencintai semua kenangannya juga... bismillah pasti bisa..."

Tangisan Shalu semakin deras, namun bergerak melepas pelukan Altav. "Iya, oke, gue mau... gue bakal pulang. Gue mau liat makamnya, hiks."

Altav mengangguk pelan. Suara tangisan dan tatapan mata Shalu yang banjir air membuatnya meneteskan airmata juga. Ia bergerak memeluk Shalu kembali. Dadanya langsung sesak, batinnya tidak terima melihat gadis yang dicintainya ini merasakan sakit yang padahal tidak bisa ia lihat.

###

Altav menggenggam tangan Shalu. Mereka tiba di Jakarta setelah tiga jam menempuh perjalanan udara. Kedatangan mereka juga disambut oleh Gea, Chenle, Ammy, beserta Ana, Jeno, Gavin.

Putih Abu! 3 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang