Shalu membuka pintu rumah. Sengaja ia tidak menyuruh Aro masuk karena paham kalau sang kekasih ingin cepat-cepat mengabarkan ibunya tentang kabar baik yang baru saja didapatkan.
"Kakak!" Gavin menyambut. Berlari dari dapur sampai ke depan pintu utama hanya untuk menghampiri Shalu dan memeluk kaki Shalu.
Shalu tidak bisa berjalan, "Hahaha... aduh, kangen bilang dong. Gak usah tiba-tiba teriak terus peluk kaki." Ledeknya, lalu berjongkok untuk mengecup Gavin. "Nih, salim dulu." Ia menyerahkan tangan kanannya.
"Gak mau! Bau!" Gavin malah berlari lagi. Kali ini meninggalkan Shalu, berlari kencang hingga menghilang ke arah dapur.
Shalu tertegun, "Apa katanya? Bau?" Ia mengendus tangannya sendiri sambil berdiri dari jongkok. "Ih, wangi gini astaghfirullah... masih bocil udah songong." Gerutunya. Melangkah menuju dapur karena sepertinya Ana ada di sana, kalau Gavin berlari ke sana.
"Jangan! Ih, kamu jangan main di sini Vin, Ibu lagi masak, nanti gak keliatan kamunya kalau jatuh." Ana mengomel. Ia menarik tubuh Gavin yang hampir akan masuk ke dalam kulkas. "Sana, main di depan tv."
"Gak mau!" Gavin kukuh ingin bermain di dapur. Sekarang ia sudah hampir menginjak usia dua tahun. Sudah bisa melakukan banyak hal termasuk berbicara. Meskipun masih agak terbata-bata dan kadang suka tiba-tiba terjatuh padahal hanya berjalan biasa.
"Bandel banget." Kata Shalu, melangkah menghampiri Ana, mencium tangan. "Bener kata Ibu, anak cowok lebih bandel daripada anak cewek kalau masih kecil."
Ana menerima salam dari Shalu, matanya fokus memperhatikan Gavin, tangan lainnya mengaduk sayur. "Ah, mau kecil mau gede, anak cowok mah emang bandel." Ia menghela nafas, lalu berlari melihat Gavin akan menarik taplak di meja makan. "IH! JANGAN DONG! Nanti makan siangnya tumpah semua." Ia menggendong Gavin.
"AAAAAH!" Gavin menangis. Ingin bermain di dapur lagi, tapi malah dibawa ke dalam kamar pribadinya. "AYAH! HUHU..."
"Ayah, Ayah, Ayah, orang nggak ada Ayah dipanggil terus." Ana menaruh Gavin di ranjang kecil. "Udah, diem di situ! Main mobil aja, jangan ke dapur." Ia menuruni ranjang. Melangkah menuju pintu untuk mengunci Gavin di dalam sana.
"Ah! Ah! Ayah! Huhu..." Gavin menangis kencang. Ia buru-buru menuruni ranjang, tapi terjatuh di karpet.
"Hahaha..." Ana puas, ia berhasil mengunci pintu kamar meskipun sempat melihat Gavin merengek. "Ayah... tolong aku Ayah..." Ledeknya. Senang mendengar Gavin memukul-mukul pintu.
Shalu meneguk segelas air, menahan tawa mendengar perdebatan menggemaskan antara ibu dan adiknya itu. "Kasian Bu, nanti Ayah marah loh kalau tau Gavin dikunci di dalem sana lagi."
"Biarin." Ana menaruh kunci kamar di meja dapur. Ia melanjutkan kegiatan memasak sayur yang sengaja dihidangkan terakhir agar masih panas. "Nanti juga kalau udah selesai Ibu keluarin lagi dia, yang penting nggak ganggu pas lagi masak gini."
Shalu tertawa, "Emang bandel sih Gavin, tapi Ayah terlalu baik jadi gak tega terus." Ia duduk di salah satu kursi meja makan. "Bu... Shalu gak diterima SNMPTN."
Ana menoleh, tangannya meraih bawang goreng tapi matanya menatap Shalu. "Yaa udah gapapa, bukan rejeki kamu Sha... lagian Ibu juga dulu gak dapet SNMPTN sama sekali. Orang-orang rame daftar SBMPTN aja Ibu gak ikutan, males, hehe."
"Oh... jadi ibu tuh langsung masuk ke sekolah pramugari? Nggak coba-coba masuk PTN dulu?"
"Iya, langsung. Dari dulu gak pernah minat kuliah sih, Ibu maunya langsung kerja, akhirnya masuk aja ke sekolah pramugari... delapan bulan belajar abis itu langsung bisa kerja, terbang keliling dunia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Putih Abu! 3
Teen Fiction"Ini adalah cerita anak-anak kami, yang entah mengapa cepat sekali beranjak dewasa... hingga tak terasa telah mengenakan seragam yang pernah kami kenakan─ putih abu" present by: (keturunan) nct dream note: Putih Abu! 3 - New Story adalah series tera...