Sebuah pohon besar di halaman SMA BW menaungi tiga orang gadis yang tengah duduk di bangku taman. Masih pagi, bel masuk baru akan berbunyi 30 menit lagi. Mereka masih punya waktu banyak untuk menunggu Melfa.
Sebuah mobil yang akhir-akhir ini tidak pernah mereka lihat sekarang masuk ke halaman SMA BW. Pintu mobil itu terbuka dan Melfa turun dari sana dengan senyuman serta lambaian tangan saat melihat tiga temannya.
Dengan cepat tiga gadis itu segera menghampiri Melfa. Mereka berencana akan memperlakukan Melfa bak ratu agar gadis itu lupa akan masalahnya.
"Qilla udah berangkat? Beneran udah nggak papa?" tanya Melfa khawatir saat tiga gadis itu tiba di hadapannya.
Justru mereka itu mengkhawatirkan Melfa, malah gadis itu khawatir dengan Qilla. Jelas-jelas dirinya sendiri juga mengalami masalah yang bisa dibilang lebih berat dari Qilla.
"Nggak kebalik, Mel?" tanya Qilla. Melfa menautkan kedua alisnya bingung. "Nggak usah pura-pura! Walaupun kemarin gue nggak masuk gue tetep tau beritanya," ucap Qilla.
"Huftt... Gue kan sekarang berangkat, tandanya gue juga nggak papa," balas Melfa dengan menunjukkan senyum palsunya.
"Lo sekarang nggak bawa mobil sendiri, Mel?" tanya Nesya penasaran, mewakili Qilla dan Vanes. Gadis itu menggeleng cepat. "Enak dianterin Pak Joko," jawabnya dengan cengiran kuda.
"Tau nggak sih gue dari tadi capek, masuk kelas, yuk!" ajak Vanes dengan tangannya yang mengusap peluh di keningnya. Membuat mereka terkekeh karena baru berdiri sebentar saja gadis itu sudah berkeringat.
Akhirnya mereka pergi dari tempat itu. Dengan formasi Vanes dan Nesya yang memimpin jalan, serta Melfa dan Qilla di belakang mereka agar tak memenuhi koridor yang mereka lalui.
Banyak siswa yang menatap Melfa. Ada yang menatap dengan sendu dan kasihan, ada juga yang menatap seperti mengejek karena pada akhirnya ditinggalkan oleh Diven.
"Melfa!"
Diven muncul dari depan, berlari menghampiri Melfa. Vanes, Nesya, dan Qilla yang telah siaga langsung menghalangi Melfa dari Diven.
"Mel, ada yang mau aku omongin sama kamu," ucap Diven dengan matanya yang terlihat begitu memohon pada Melfa.
"Nggak! Apaan mau ngomong segala, nggak cukup lo nyakitin Melfa kemarin?!" bentak Qilla penuh emosi. Berbeda dengan Vanes yang takut-takut untuk melarang Diven meskipun ia menghalanginya.
"Gue juga nggak mau nyakitin dia!" balas Diven tak mau kalah. Pokoknya pagi ini dia harus berbicara dengan Melfa, tidak bisa ditunda.
Melfa menerobos Vanes, Nesya, dan Qilla yang menutupi dirinya. Sekarang ia telah berhadapan langsung dengan Diven. Tak ada air mata, hanya wajah tenangnya yang ia tunjukkan.
"Mel," lirih Diven pelan yang terdengar seperti merengek. Hatinya justru lebih sakit saat melihat wajah tenang Melfa daripada Melfa yang menangis kemarin.
"Iya, ini Melfa. Mau ngomong apa?" tanya Melfa lembut, sungguh di luar dugaan. Semua siswa yang menyaksikannya dibuat tercengang.
"Please, Mel, jangan gini! Mending kamu marah atau pukul aku biar kesalahanku terbayar," ucap Diven yang semakin lama semakin tak tahan, apalagi sekarang Melfa malah menunjukkan senyumnya.
Mata Melfa berkeliaran melihat ke sekitar, banyak sekali siswa yang melihatnya. Melfa menundukkan kepalanya sejenak dan menghela nafas, lalu ia mendongak lagi.
Tangannya terulur untuk menggandeng tangan Diven. Membawa pria itu pergi menghindari keramaian. Cukup mereka berdua saja yang berbicara dan mendengar hal ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Fiksi Remaja[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...