Sejak kedatangannya ke kelas sampai saat waktu istirahat ini Melfa terus memandangi Vanes, teman sekelasnya. Matanya hampir tak pernah lepas dari gadis itu. Bahkan saat pelajaran berlangsung ia sempat ditegur oleh guru karena tak memperhatikan penjelasannya.
"Mel! Gue perhatiin dari tadi lo liatin Vanes mulu. Kenapa dah?" tanya Qilla dengan menepuk lengan Melfa keras hingga membuat gadis itu tersentak.
"Jangan ngagetin juga kali!" balas Melfa kesal. "Itu Vanes masih pacaran sama Diven nggak sih?" tanya Melfa kemudian dengan matanya yang masih fokus pada Vanes.
Qilla diam, ia mengikuti Melfa yang terus melihat ke arah Vanes yang tengah asyik tertawa bersama Aurel dan Nesya. Detik selanjutnya ia menatap Melfa dengan penuh tanda tanya.
"Masih. Emang kenapa sih? Lo suka sama Diven si bule ganteng itu?" tanya Qilla sembari menaik-turunkan alisnya dan membuat Melfa jijik.
"Enggak lah! Tadi pagi tuh gue liat Diven di koridor sepi itu lagi nempel-nempel kakel anak IPS yang cantik plus bohay itu. Terus pakai ngelus-ngelus pipinya juga, astaga!" Melfa membuang nafas melalui mulutnya setelah selesai bercerita. Cerita yang lebih seperti mengomel tanpa jeda.
Mata Qilla mengerjap beberapa kali. Dagunya jatuh ke bawah hingga membuat mulutnya ternganga. Heran dengan sahabatnya satu itu yang dapat berbicara panjang lebar dalam sekali tarikan nafas.
"Lo ceramah, ndongeng, atau nge-rapp, Mel?" tanya Qilla polos. Satupun kalimat yang diucapkan Melfa tak ada yang masuk di kepalanya. Satu-satunya kata yang dapat ditangkapnya adalah nama Diven.
"Lama-lama kok lo jadi lemot sih, Qil? Ketularan kembaran pacar lo itu, ya?" tanya Melfa balik. Gadis itu menyebut Qilla menjadi lemot, padahal memang apa yang diucapkannya tadi sangat cepat dan sulit ditangkap oleh telinga manusia dan diproses di otak.
Lebih baik mengalah daripada berdebat. Hal itu yang dipilih Qilla sekarang. Percuma meladeni Melfa karena gadis itu tak pernah mau kalah. Apalagi sifat kekanak-kanakannya yang kadang muncul secara tiba-tiba dan hilang begitu saja. Seperti jalangkung yang datang tak diundang, pergi tak diantar.
"DE KNAPSTE MAU MASUK KELAS KITA, WOY!!" teriak Bima, sang perusuh di kelas XI IPS 2 yang baru saja masuk ke kelas. Membuat siswa kelas XI IPS 2 menjadi rusuh menghindari jalan menuju bangku Vanes.
Mereka sudah hafal, setiap De Knapste datang ke kelas XI IPS 2 dengan anggota yang lengkap pasti karena Diven ingin menemui pacarnya, Vanessha Queenby.
Tidak mungkin jika mereka datang ke kelas ini karena Yosha ingin menemui Qilla. Sebab jika pria itu ingin menemui Qilla, pasti hanya dirinya sendiri tanpa mengajak anggota De Knapste yang lain.
"Rambut gue udah rapi belum, Mel? Bedak gue luntur nggak? Bibir gue kering banget nggak sih? Apa perlu gue pakai lip balm lagi, ya?" Qilla memberondong Melfa dengan berbagai macam pertanyaannya.
Melfa dapat memaklumi hal itu karena Qilla memang selalu ingin tampil cantik di depan Yosha. Itu sudah jadi hal biasa, memang setiap perempuan ingin tampil perfect di depan kekasihnya bukan?
Agar lebih cepat menghentikan ocehan Qilla, Melfa mengangguk mantap. Lalu ia melipat tangannya di atas meja dan menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya. Malas mendengar keributan di kelasnya karena kedatangan De Knapste.
Sementara itu, di bangkunya Vanes tengah sibuk memainkan rambutnya dan tersenyum manis pada Diven yang berjalan menuju ke arahnya. Seperti ratu yang sudah siap dijemput oleh rajanya.
Saat Diven sudah begitu dekat, ia merentangkan tangannya. Namun dengan santainya Diven melewatinya. Senyum manis Vanes berubah menjadi kecut saat mengetahui Diven menghampiri bangku di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...