Pagi ini tak terasa suram seperti biasanya bagi Melfa. Ia berangkat diantarkan oleh Papa Temboknya. Tak heran jika ia sekarang sangat bahagia. Setelah beberapa hari yang lalu ia dijemput oleh Papa Tembok, akhirnya hari ini ia diantar oleh Papa Tembok.
Kakinya terasa begitu ringan melewati koridor sekolah menuju kelasnya. Setiap langkahnya ia selingi dengan bersenandung ria. Dan yang tak terlupakan senyum manis yang selalu menghiasi wajah cantiknya.
Namun dalam sekejap senyum manisnya itu hilang. Bibirnya terkatup dan kakinya terasa berat untuk melangkah ketika matanya menangkap sesuatu di ujung koridor.
Bukan hantu, melainkan Diven yang tengah memangku seorang gadis di pangkuannya. Di tempat yang sama saat Melfa memergokinya sedang bersama seorang kakak kelas, namun sekarang dengan gadis yang berbeda.
Melfa sangat mengenali gadis yang ada di pangkuan Diven. Gadis itu adalah sahabat pacar Diven sendiri. Bisa-bisanya bermesraan dengan pacar sahabatnya. Parahnya lagi tak ada rasa penyesalan di wajah gadis itu.
"Astaghfirullah, di depan orangnya mendukung, di belakang orangnya nikung," Melfa menggelengkan kepala beberapa kali seraya mengelus dadanya.
Meskipun ia tidak dekat dengan Vanes dan ia sedikit kesal dengan Vanes karena kejadian saat pulang sekolah waktu itu, ia tetap memiliki perasaan kasian pada gadis itu. Gadis yang telah dikhianati oleh sahabatnya sendiri.
"Gue mau bela tuh bule kesemek, tapi dia juga main nyosor. Mau belain Aurel, tapi tuh cewek juga tega main ngembat pacar temen sendiri," Melfa menghela nafas keras-keras. "Emang nggak ada yang bener tuh dua-duanya. Nggak ada hati apa ya?"
Ingin membantu Vanes dengan cara memisahkan Diven dan Aurel, tapi takut dikira mengganggu. Ingin menegur Diven dan Aurel, tapi takut jika akhirnya ia yang akan menjadi korban bully lagi oleh Diven. Memang serba salah semua yang akan dilakukan oleh Melfa.
Tangannya menepuk kening beberapa kali. Mencari akal untuk menemukan tindakan yang tepat. Namun di kepalanya hanya terisi kalimat "Gue harus bantu Vanes".
Akhirnya Melfa memutuskan untuk tetap menghampiri dua anak manusia yang tengah bermesraan itu. Masa bodoh dengan nantinya ia akan dibully Diven.
"Eh, Mbak, Mas! Kalau pacaran kira-kira deh. Pagi-pagi udah berduaan mojok di koridor sekolah," tegur Melfa sembari berkacak pinggang.
Aurel terlihat gelagapan dan langsung berdiri dari pangkuan Diven. Mulutnya terlihat beberapa kali terbuka dan tertutup lagi, terasa kelu untuk mengucapkan sesuatu. Sementara itu, Diven malah terlihat santai tanpa beban apapun.
"Apa masalahnya buat lo?" tanya Diven dengan menirukan Melfa yang berkacak pinggang.
"Gue nggak masalah. Tapi kasian Vanes lo bohongin terus," ucap Melfa mantap. Kini ia berganti menatap Aurel. "Lo juga, Rel. Masa pacar temen deket sendiri lo embat. Nggak kasian apa?"
"Biarin! Vanes nggak bakal tau kalau lo nggak ngadu. Kalau sampai Vanes tau, berarti lo yang ngadu ke dia. Dan gue bakal salahin lo!" Aurel menunjuk Melfa tepat di depan wajahnya.
Dalam hati Melfa membatin gadis di depannya ini sudah tak waras. Niatnya menyadarkan gadis itu, namun ia malah mendapat ancaman. Hellow! Ini bukan sinetron tv yang menceritakan si protagonis yang diancam si antagonis ya.
"Gue nggak suka ngadu. Tapi lambat laun juga nantinya Vanes bakal tau sendiri," balas Melfa santai.
"Lo tuh ya!" Aurel mengepalkan kedua tangannya di depan wajahnya dan meremasnya kuat-kuat. Greget dengan sifat Melfa ini. "Gue kira lo pendiem, ternyata lo nyebelin juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...