Tepat pukul 18.00 mobil Melfa tiba di garasi rumahnya setelah hampir setengah jam mereka menempuh perjalanan. Jarak dari taman kota dan rumahnya bisa dibilang tidak dekat, jadi jangan tanya kenapa menghabiskan waktu hampir setengah jam hanya untuk perjalanan.
Kayla turun dari mobil dan berlari menghambur ke pelukan Nara yang tengah duduk di teras depan rumah bersama dengan Raffa.
"Kok tumben lama? Pergi kemana aja?" tanya Nara lembut saat Melfa telah duduk bergabung bersama mereka.
"Cuma ke taman, Ma. Biasa si Kayla kalau udah main suka nggak tau waktu," jawab Melfa seraya mengacak rambut Kayla.
"Tadi Kayla ketemu Kakak ganteng, doinya Kak Melfa," tutur Kayla yang terlihat sangat antusias dan bersemangat.
Jeduar!
Tamat sudah riwayat Melfa. Bisa-bisa ia dihukum Raffa jika sudah begini. Lalu orang pertama yang akan ia salahkan adalah Diven. Dan jika ia mati, Diven jugalah orang pertama yang akan dihantuinya.
"Melfa!" panggil Raffa dengan wajahnya yang garang.
"I-iya, Pa?" balas Melfa dengan terbata-bata. Dirinya sudah mencium bau asap tak menyedapkan dari panggangan rencana Tuhan untuknya kali ini.
"Ikut Papa!" perintah Raffa mutlak.
Benar kan dugaan Melfa. Sudah pasti ia akan terkena masalah besar. Kini hidupnya yang sudah menderita akibat menghadapi seorang Diven harus bertambah pula karena penderitaan dari Diven tak sampai di situ saja.
Ia juga harus terimbas dengan menghadapi Papanya yang cukup menyeramkan saat marah.
Raffa berjalan masuk ke dalam rumah. Mau tak mau, Melfa harus segera mengikuti Papanya daripada pria itu semakin murka.
Dapat dilihatnya Nara yang menatapnya penuh belas kasihan sebelum ia melangkah masuk ke dalam.
Melfa mengikuti langkah kaki lebar Raffa yang masuk ke dalam ruang kerjanya. Duduk di depan meja Raffa dengan wajah Raffa yang begitu menyeramkan hingga membuat Melfa merasa seperti disidang dalam meja hijau.
"Jelaskan pada Papa," perintah Raffa dingin.
Jari-jari Melfa meremas ujung dress yang ia kenakan. Bingung harus menjawab apa. Bukan karena ia bersalah, tapi karena lidahnya terasa kelu saat Papanya menatapnya seperti itu.
"M-melfa nggak ada h-hubungan a-apa-apa kok, P-pa," jawab Melfa yang masih tetap terbata-bata.
"Jawab yang jelas!" titah Raffa yang terkesan membentak anak gadisnya.
Melfa sedikit terperanjat. Papanya sangat menakutkan. Hingga membuat pelupuk matanya telah terkumpul banyak air mata yang siap jatuh kapan saja.
Sebisa mungkin Melfa mencegah air matanya jatuh dari tempatnya. Ia tahu papanya sangat tidak suka jika anaknya cengeng. Pasti ia akan memarahi anaknya itu.
"Melfa nggak ada hubungan apapun sama siapapun, Pa," jawab Melfa berusaha lantang meskipun kepalanya masih menunduk untuk menghindari tatapan tajam Papanya.
"Lihat mata Papa!" perintah Raffa tegas. Melfa segera mendongak dan menatap Raffa sebelum Papanya itu semakin marah.
"Kenapa anak kecil bisa tahu kata doi jika bukan yang besar yang memberi tahu?" tanya Raffa tenang, namun terdengar tegas penuh dengan wibawanya.
"Maaf, Pa, tapi Melfa nggak ngasih tau Kayla," bela Melfa tetap dengan nada sopannya.
Raffa menghela nafas pelan. Ditatapnya dalam mata putri sulung kesayangannya itu. Menelisik ke dalam mata itu, mencari sebuah kebohongan disana. Nihil, ia tak menemukan apapun. Hanya pancaran kejujuran yang tersirat dari mata Melfa.
![](https://img.wattpad.com/cover/229911297-288-k437342.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...