30 ~ Dertig

521 38 3
                                    

Semenjak tak menjalin pertemanan dengan Vanes dan Nesya, hidup Aurel terasa begitu sepi. Setiap harinya ia selalu melakukan semua aktivitas di kamar kosnya, kecuali jika sekolah dan ada sesuatu yang harus ia beli, baru ia akan keluar.

Aurel sendiri dapat merasakan perubahan itu. Dirinya termasuk gadis yang susah untuk beradaptasi, jadi ia tak memiliki banyak teman di sekolah maupun di kosnya.

Malam ini ia pergi ke supermarket untuk membeli persediaan mie instannya yang telah habis. Biasa anak kos, mie instan merupakan makanan wajib bagi mereka. Hidup tanpa mie instan itu rasanya hambar.

"Itu bukannya Erfan, ya?" lirihnya saat tak sengaja menjumpai Erfan di depan supermarket. "Ngapain dia di sini? Rumahnya kan jauh dari sini."

Tak mau ambil pusing, Aurel segera menyusul pria itu. Aurel kenal kok dengan pria itu, ya meskipun tidak terlalu dekat. Ia bisa kenal pria itu karena Vanes.

"Ngapain lo di sini sendirian, Fan?" tanya Aurel yang berhasil membuat pria itu tersentak. Bagaimana tidak kalau Aurel datang tiba-tiba dan menepuk pundak pria itu?

"Ngagetin aja lo, Rel!" protes Erfan kesal. "Gue habis dari rumah temen, mampir dulu ke sini buat beli minum. Lo sendiri ngapain ke sini?"

"Beli persediaan di kos yang udah habis, nih!" Aurel menunjukkan sekantong plastik penuh belanjaannya yang tentunya didominasi oleh mie instan.

Erfan mengangguk-angguk kecil sembari melihat isi kantong belanjaan Aurel. Lalu mata pria itu berkeliaran ke dalam supermarket, bisa saja ada orang lagi yang bersama Aurel masih di dalam sana.

Oke, pria itu tak perlu mengatakannya pun Aurel tahu maksudnya. Jelas sekali dari raut wajahnya itu. Siapa lagi yang dicari kalau bukan Vanes?

"Kalau lo nyari Vanes di sini nggak bakal ketemu, gue udah lama nggak barengan sama dia lagi," ucap Aurel, sedikit malas untuk membahasnya.

Dapat Aurel lihat kedua mata Erfan terbelalak. Pasti pria itu tak percaya, pasalnya Vanes dan Aurel itu sangat dekat dan erat. Persentase kemungkinan mereka tak berteman pun mungkin sedikit.

"Nggak usah boong deh, gue tau sedeket apa kalian itu," tutur Erfan dengan penuh percaya diri, membuat Aurel berdecak kesal.

"Yang nikah aja bisa cerai, kenapa temenan nggak bisa musuhan?" balas Aurel sekenanya. "Lo masih suka sama Vanes?"

"Hmm, tapi sampe sekarang ya gini-gini aja. Dia masih suka sama Diven," jawab Erfan dengan wajahnya yang terlihat sedih.

Aurel menganggukkan kepalanya. Dia tahu kalau Vanes masih sangat mencintai Diven, sama halnya dengan dirinya. Karena melupakan pria berdarah campuran Indonesia-Belanda itu sangat sulit.

Kalau tentang alasan kenangan yang membuat mereka sulit melupakan Diven itu salah, karena mereka juga tak punya banyak kenangan bersama Diven. Paling hanya sekedar bertemu di sekolah karena pria itu sulit sekali jika diajak jalan.

Mereka sendiri juga tak tahu apa yang membuat mereka sulit melupakan. Masih ada rasa semacam sayang untuk melepaskan, tapi sudah tak bisa untuk memiliki lagi.

"Gue bisa bantu lo," ucap Aurel tiba-tiba, membuat Erfan mengangkat sebelah alisnya. "Tapi lo harus bantu gue juga!"

"Emangnya lo mau bantu gue apa? Bisa apa lo dengan keadaan lo yang sekarang udah jauh sama Vanes?" ujar Erfan meremehkan yang cukup untuk menyentil hati Aurel.

"Lo bicit amat sih! Mau gue bantuin apa enggak?!" seru Aurel kelewat kesal. Ingin sekali ia menyumpali bibir pria itu dengan bubuk cabai yang dibelinya.

"Iya buruan," pasrah Erfan pada akhirnya. Lalu pria itu menurut dengan perintah Aurel yang memintanya untuk menunduk. Mendengarkan dengan saksama apa yang dibisikkan gadis itu padanya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang