Baru sepuluh menit Tian, Yosha, dan Yoshi mendudukkan pantat mereka di sofa rumah Tian, mereka telah dikejutkan dengan suara deru motor yang sangat mereka kenal.
Setiap hari mereka selalu mendengarnya, otomatis deru motor itu sudah terekam jelas di otak mereka. Mudah saja bagi mereka membedakan deru motor khas itu dengan deru motor lainnya.
Tak butuh waktu lama bagi mereka membuktikan kebenaran pemilik motor dengan deru khas motornya itu. Sang pemilik kini telah masuk dan bergabung bersama mereka. Membuat setiap raut wajah ketiga pria itu menyiratkan berbagai macam pertanyaan.
"Katanya lo mau jalan-jalan ke mall sama si Vanes, kok udah nyampe sini aja?" Tanya Yoshi sambil mencomot sebuah pisang yang telah disediakan mami Tian.
Diven melepas hoodie hijau army-nya dan melemparkan begitu saja ke sofa. Hal itu sudah biasa bagi mereka karena mereka menganggap rumah salah satu dari mereka itu rumah mereka semua. Jadi sudah tidak ada kata canggung lagi saat berada di rumah satu sama lain.
"Lo kira gue beneran mau? Ya nggak lah. Males amat gue nemenin jalan-jalan ke mall nggak jelas gitu," jawab Diven tanpa merasa bersalah.
"Udah gue tebak," ucap Tian dengan matanya yang masih fokus pada layar ponselnya.
Sejak Diven menyetujui dan menyanggupi permintaan pacarnya, pria itu sudah menduga itu hanyalah omong kosong dari Diven. Pria itu sangat hafal bagaimana bencinya seorang Diven saat menemani seorang wanita pergi ke mall.
Menurut Diven, menemani seorang perempuan ke mall itu lebih membosankan daripada mengikuti pelajaran sejarah.
Soal bagaimana Diven cepat sampai ke rumah Tian? Itu sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Tak perlu mereka tanyakan lagi. Diven tidak pernah tidak ugal-ugalan dengan motor hitam besarnya itu. Waktu yang harusnya ditempuh oleh umum selama 30 menit itu bisa menjadi 15 menit bagi Diven.
"Mau sampai kapan sih lo terus kasih harapan palsu ke Vanes? Kita tau lo sebenernya nggak bener-bener suka sama tuh cewek," ujar Yosha serius.
"Gue nggak kasih dia harapan palsu. Buktinya gue udah jadiin dia pacar gue," jawab Diven seraya mengedikkan bahunya acuh.
Dari dulu Diven tidak pernah serius dengan yang namanya menjalin hubungan dengan perempuan. Alasannya ia hanya ingin bersenang-senang, sama sekali tak ada niatan untuk serius.
Setiap kali tiga temannya menegurnya pun ia juga akan menjawab dengan jawaban yang sama. Diven akan selalu mengatakan kalau dia sudah memacarinya, berarti dia sudah tidak memberikan harapan palsu lagi.
Tian memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia melirik sebentar ke arah Diven yang kini telah duduk di sampingnya sebelum kemudian ia menatap lurus ke depan.
"Dengan cara lo yang seperti itu, justru Vanes akan berpikir lo bener-bener sayang sama dia. Harapan palsu itu penumbuhnya cinta yang semakin dalam yang nantinya akan berubah menjadi sakit yang mendalam," ucap Tian yang sudah seperti seorang profesor ahli dalam hal percintaan.
Seperti ada gundukan batu yang menyumpal di tenggorokan Diven dan si kembar hingga mereka harus dengan susah payah berusaha menelan ludahnya.
Fix, baru kali ini Tian yang notabene masa bodoh dengan urusan cinta kini bersuara. Sekali angkat suara pria itu berhasil mengejutkan ketiga temannya. Mungkin bisa saja mengejutkan dunia juga.
"Yan! Apa gara-gara setiap hari lo berkomplot sama Diven dan Yosha lo jadi terkontaminasi virus percintaannya mereka?" tanya Yoshi dengan tampang cengonya.
Sontak kedua manusia yang merasa namanya dibawa-bawa menatap Yoshi kesal. Diven dan Yosha tak pernah merasa menularkan virus percintaan mereka pada Tian yang anti cinta-cintaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Roman pour Adolescents[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...