Pagi selalu menjadi waktu di mana para manusia sangat memanfaatkan kesempatan untuk menghirup udara yang masih segar. Udara yang belum terlalu tercemar oleh banyaknya asap-asap kendaraan.
Sama halnya dengan Melfa. Gadis itu selalu mengambil kesempatan ini. Seperti sekarang ini saat ia berjalan menyusuri koridor SMA BW yang bisa dibilang memang banyak tanaman dan pohon-pohon yang sengaja ditanam sehingga membuat udara di sekitar sangat sejuk.
Biasanya Melfa melakukan hal ini untuk merefreshkan otaknya dan menenangkan jiwa sebelum menerima banyak materi. Namun kali ini bahkan otak dan jiwanya pun sedang tak tenang, ia sangat resah.
Semalam gadis itu telah memutuskan untuk menolak tawaran Diven, dan dia telah puas dengan keputusannya itu. Tapi kini ia kembali dibingungkan oleh keputusannya sendiri.
"Nggak boleh, Mel! Lo nggak boleh terima ajakan bule kesemek. Jangan buat dia semakin nyiksa diri lo sendiri," monolognya sambil menepuk kepalanya beberapa kali. Menyadarkan dirinya sendiri agar tak berubah pikiran.
"Kenapa gitu?" sebuah suara berhasil membuat Melfa tersentak. Cepat-cepat gadis itu menoleh, takut jika pemilik suara itu adalah orang yang sedang ia bicarakan.
Melfa menghela nafas lega saat ia tahu orang yang mengagetkannya ini bukan Diven, melainkan Andra. Namun tetap saja ia masih cukup kaget. Bukan kaget sih, tapi lebih seperti takut jika orang lain tahu akan hal yang sedang dipikirkannya.
"Ihh... Kok lo ngagetin gue sih?!" tanya Melfa yang tak terima karena kedatangan Andra membuat dirinya jantungan. Serta gadis itu juga ingin menutupi keresahannya.
"Lo aja jalan sendiri, ngomong sendiri, mukul-mukul kepala sendiri. Gue kira kan lo udah nggak waras, makanya gue samperin," jawab Andra dengan tampang tak berdosanya yang justru membuat Melfa kesal.
"Udahlah bodo amat, gue nggak mau temenan sama lo!" Melfa bertolak pinggang dan menjulurkan lidahnya pada Andra. "Ray mana?"
"Dih, apaan lo? Katanya nggak mau temenan sama gue, sekarang malah cari info lewat gue," ujar Andra enteng. Lalu ia menirukan Melfa bertolak pinggang dan menjulurkan lidahnya.
Pria satu ini memang dari dulu selalu saja seperti ini, menyebalkan tapi asyik juga orangnya. Dia cukup waras kok, hanya saja sifatnya kadang sebelas dua belas dengan si kembar Yosha dan Yoshi itu.
Mungkin Andra cocok masuk ke De Knapste, secara otaknya juga cerdas dan wajahnya tampan. Tapi ya itu, kendalanya adalah si ketua De Knapste tak akur dan cenderung bermusuhan dengan pria ini.
"Lo pada ngapain sih?" tanya Ray yang tiba-tiba datang dari belakang mereka. Pria itu cukup terkejut melihat Melfa dan Andra yang saling bertolak pinggang dan menjulurkan lidahnya masing-masing.
Cepat-cepat Melfa menurunkan tangannya dan menghampiri Ray. Mengabaikan Andra yang masih menjulurkan lidah padanya. "Ray, gue mau tanya. Lo kalau ngajak jalan cewek tapi ditolak lo sakit hati, nggak?"
Sebelah alis Ray terangkat setelah mendengar pertanyaan Melfa. Pasalnya gadis itu jarang sekali membahas hal seperti ini, bahkan hampir tak pernah. Dan sekarang, pagi-pagi seperti ini gadis itu menanyakan hal itu. Wajar kan kalau Ray bingung?
"Nggak, ngapain gue sakit hati?" jawab Ray yang membuat bahu Melfa merosot lemas. Jelas karena gadis itu tak puas dengan jawaban yang Ray berikan. Bukannya tidak puas, tapi gadis itu ingin jawaban yang lainnya.
Sementara itu, Andra tertawa puas sambil memegang perutnya yang mulai kram. Membuat Melfa dan Ray menatapnya bingung. Tak paham dengan apa yang membuat pria itu tertawa sampai matanya berair.
"Mel, lo tanya sama Ray?" tanya Andra di sela-sela tawanya. Melfa mengangguk sebagai jawaban yang justru membuat Andra semakin tertawa kencang. "Manusia batu mana ada perasaan, Mel?" lanjutnya lagi yang bermaksud menyindir Ray.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...