Bangku di samping Tian hari ini kosong. Penghuninya tidak masuk sekolah karena harus mengganti kemoterapi yang kemarin dia lewatkan.
Desas-desus tentang pemilik sekolah yang akan berkunjung ke SMA BW semakin menyebar ke seluruh siswa dengan sangat cepat. Katanya Mr. Vandenberg akan datang untuk mengurus masalah Diven.
Tian mendapat pesan dari coach Rendy agar dia mengumpulkan tim inti basket SMA BW di ruang basket. Mudah baginya untuk mengumpulkan mereka karena semua anggota tim inti adalah siswa kelas XI MIPA 1.
"Ray! Ruang basket sekarang," seru Tian pada Ray yang tengah asyik memainkan ponselnya di samping Andra.
Ray mengangguk mantap dan segera beranjak. Mengikuti Tian yang lebih dulu keluar bersama dengan si kembar. Meninggalkan Andra dengan wajahnya yang cemberut.
"Moga akur deh gue ditinggal sama Aldy sendirian," ucap Andra yang samar-samar masih dapat didengar oleh Ray.
Sesampainya di ruang basket, mereka langsung duduk. Di sana coach Rendy ternyata sudah menunggu mereka. Berarti kemungkinan besar ada hal penting yang akan coach Rendy katakan.
"Maaf, Coach, kita cuma berempat. Diven nggak masuk," ucap Tian sopan. Menyesuaikan dirinya untuk menjadi pengganti Diven yang biasanya berbicara pada coach Rendy.
Coach Rendy mengangguk beberapa kali. "Saya sudah tahu, karena itu pula saya mengumpulkan kalian di sini," ujar coach Rendy yang terlihat serius.
"Kenapa ya, Coach?" tanya Yosha. Rasa penasaran dan takut bercampur jadi satu dalam dirinya.
"Tadi Mr. Vandenberg menemui saya, beliau tidak memperbolehkan Diven untuk mengikuti kegiatan basket lagi karena masalah kesehatannya," jelas coach Rendy dengan tenang.
Ray yang sejak tadi menundukkan kepala langsung mendongak mendengar hal itu. Cukup kaget, dia menyayangkan karena Diven sangat mahir dalam basket dan menjadi maskot tim inti SMA BW.
"T-terus tim kita gimana, Coach? Sebentar lagi kan kita ada turnamen," Yoshi mengacak rambutnya frustasi. Mengingat beberapa hari lagi mereka akan ada turnamen yang cukup penting.
"Saya bisa cari pengganti Diven di tim cadangan. Tapi untuk menjadi kapten, antara Ray dan Bastian yang akan saya tunjuk," coach Rendy menunjuk Ray dan Tian secara bergantian.
Berhubung kedua pria yang ditunjuk itu memiliki sifat yang sama, sama-sama cuek dan dingin, mereka tak bereaksi apapun. Cukup diam menyimak coach Rendy.
Padahal harapan coach Rendy ada salah satu di antara dua pria itu yang mau menjadi kapten secara sukarela sebelum coach Rendy menunjuknya sendiri.
"Kenapa? Apa ada yang salah sama calon kapten yang saya tunjuk?" tanya coach Rendy. Merasa mereka kurang meresponsnya.
"Tunjuk langsung aja, Coach. Mereka berdua nggak bakal bertindak kalo nggak diminta," bisik Yoshi agar dirinya bisa aman dari tatapan mematikan dua pria itu.
"Oke, saya pilih Ray. Kamu bersedia jadi kapten kan, Ray?" coach Rendy menunjuk Ray. Pria itu terdiam, hatinya sangat berat untuk dia menerima tugas sebagai kapten.
"Ray setuju, Coach. Di antara kita dia yang terbaik setelah Diven," ucap Yosha mendahului Ray. Membuat Ray meliriknya tajam.
Bukan tanpa alasan Yosha melakukan hal itu. Yosha orangnya peka, dengan melihat ekspresi Tian saja dia tahu betul kalau pria itu tak mau menjadi kapten.
*****
Kondisi kelas XI IPS 2 sekarang sudah tidak ada bedanya lagi dengan kapal pecah. Meja dan kursi berantakan, kertas bertebaran di sana-sini, serta papan tulis yang penuh coretan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...