02 ~ Twee

1.9K 108 7
                                    

Setelah kejadian Melfa melempar 'Diven junior' dengan bola basket pada hari itu, kini paginya berubah menjadi suram. Setiap pagi Melfa harus dengan susah payah mengumpulkan niatnya untuk berangkat ke sekolah.

Sekarang sekolah menjadi tempat yang paling menyuramkan baginya. Bukan karena sekolahnya yang membosankan. Tapi karena Diven yang selalu mengganggu ketenangannya.

Seperti pagi ini, Melfa berjalan malas-malasan menuju ruang makan di rumahnya. Tak ada tenaga untuknya mengangkat kaki. Tapi ia dengan cepat berubah menjadi semangat saat melihat Kayla, adiknya yang berumur tiga tahun sedang memakan roti sendirian.

Adiknya yang sangat lucu dan imut itu selalu dapat membangkitkan semangatnya. Maka tak salah lagi Kayla disebut-sebut sebagai mood booster di keluarga ini.

"Ini kan roti punya Kak Melfa. Kayla nggak boleh makan roti ini!" Melfa mengambil roti yang ada di tangan Kayla dan menyembunyikannya di balik tubuhnya.

Tak seperti dugaan Melfa. Ia kira adiknya akan menangis dan merengek padanya untuk mengembalikan rotinya. Nyatanya Kayla justru terlihat santai dan begitu datar.

"Eh, Kayla kok nggak nangis sih? Kan rotinya Kakak ambil. Harusnya Kayla nangis dong," ucap Melfa polos. Sekarang dirinya terlihat lebih seperti sepantaran dengan Kayla daripada menjadi kakak Kayla.

"Buat apa Kayla halus nangis, Kayla kan bica minta cama Mama lagi," jawab Kayla dengan lidahnya yang masih cadel. Tangannya ia silangkan di atas meja makan seperti tanpa beban sedikitpun.

Dalam hati Melfa hanya membatin adiknya itu. Sifatnya yang kadang sangat cuek dan sering sekali mulutnya savage walaupun masih kecil selalu membuat Melfa terheran-heran.

Melfa selalu berpikir harusnya mamanya saat hamil Kayla tidak boleh terlalu dekat dengan Raffa Arvel Keandra, papanya sendiri. Alhasil adiknya itu jadi mempunyai sifat yang turun dari papanya, cuek dan datar.

Namun tidak sepenuhnya sifat Kayla mirip Papanya. Kayla kadang juga bisa memberontak dan ngeyelan. Persis seperti Nara, sang mama. Kalau Melfa sendiri mengakui dirinya yang sedikit cerewet dan kadang manja. Ia pikir itu terturun dari sifat mamanya yang tersembunyi.

Melfa sudah bersyukur sekali tidak menuruni sifat papanya yang dingin dan datar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya bersifat seperti itu. Pasti sangat mengerikan.

Melfa pikir dirinya tak menuruni sifat papanya karena saat Nara hamil dirinya Raffa sedang sibuk mengurus bisnisnya di luar negeri sampai berbulan-bulan dan pulang ke Indonesia tepat sehari sebelum Melfa dilahirkan.

"Masih kecil aja mulutnya udah savage gini, gimana gedenya coba? Mirip Papa tembok yang datar itu kali, ya?" gerutu Melfa sambil memonyongkan bibirnya. Niat hati ingin menggoda Kayla agar kesal malah dirinya sendiri yang menjadi kesal.

Ekhmm

Kedua mata Melfa membulat sempurna, persis mamanya saat terkejut. Pelan-pelan ia memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Ia memamerkan deretan gigi putihnya saat melihat papanya yang ternyata telah duduk di depan meja makan entah sejak kapan.

"Eh, Papa! Mau sarapan ya, Pa?" tanya Melfa berbasa-basi yang sudah jelas ia mengerti jawabannya. Raffa hanya menatap putri sulungnya itu datar. Sifatnya satu itu memang tak pernah hilang darinya sampai kapanpun.

"Jelas-jelas Papa mau calapan, pakai tanya lagi," ucap Kayla santai. Ia mengubah posisi tangannya menjadi menopang dagunya.

"Mpft....pffttt....," Sebuah suara yang terdengar seperti menahan tawa membuat Melfa, Kayla, dan Raffa menoleh. Di sana sudah ada Nara dengan wajahnya yang memerah menahan tawa.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang