Hari ini menjadi hari yang menegangkan bagi para siswa SMA BW. Karena hari ini adalah hari di mana hasil belajar mereka selama satu tahun ini akan dibagikan.
Tempat parkir serta lapangan SMA BW dipenuhi oleh banyaknya mobil orang tua atau wali siswa yang sangat antusias mengambil rapor anaknya.
Seorang gadis dengan tas punggung berukuran kecil yang terlihat sangat cocok dengan dirinya tengah duduk di depan koridor. Menunggu papanya dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya.
"Kenapa di sini sendirian? Nggak pengen liat ambil rapornya?" seorang pria dengan tubuh tegapnya datang dan duduk di samping Melfa.
"Nggak mau, takut kalo nilainya jelek," cicit Melfa. Jemarinya meremas ujung roknya sampai kusut.
Diven tertawa puas, geli melihat tingkah Melfa. Apalagi tangan gadis itu bergetar hebat. Di pelipisnya juga banyak keringat bercucuran.
"Jangan ketawa! Gu--,"
"Aku," potong Diven cepat, menyadari gadis itu akan menggunakan kata 'gue' yang kurang Diven suka.
Tak ada sahutan, gadis itu memilih diam. Niatnya untuk bicara sudah hilang. Rasa takutnya benar-benar mendominasi dirinya.
Setiap pengambilan rapor, Melfa selalu saja begini. Meskipun dia selalu mendapat peringkat di kelas, namun tetap saja dirinya takut kalau nilainya tidak memuaskan.
Tangan Diven terulur menggenggam tangan gadis itu. "Kenapa takut? Aku yakin nilai kamu pasti bagus, jangan pesimis dulu. Kalaupun nilainya jelek juga nggak papa, yang penting kamu udah berusaha."
"Aku cuma takut kalo Papa sama Mama kecewa," lirih Melfa. Diven tidak marah, selama ini dia sudah mencoba untuk tidak terlalu sensitif saat seseorang membawa-bawa orang tuanya saat bicara dengannya.
"Nggak ada yang kecewa. Kenapa mereka harus kecewa dengan sekali kegagalan setelah sering kali mendapat keberhasilan?" Diven mencoba menenangkan Melfa.
Gadis itu menatap Diven tepat di manik matanya. Mencari seluruh kepastian dan kebenaran di sana. Berusaha membuat dirinya yakin dengan kata-kata pria itu yang memang benar baginya.
"Jadi kalo misal nilai aku jelek mereka nggak marah?" tanya Melfa, pria itu mengangguk. Membuat wajah gadis itu yang tadinya muram menjadi cerah kembali dengan senyuman manisnya.
"Nah, gini dong senyum. Kan enak diliatnya, kalo kayak tadi nyamuk aja nggak mau deketin kamu," ucap Diven dengan senyum jailnya.
"Ihh... Kamu tuh nyebelin banget sih!" Melfa mencubit perut Diven cukup kencang, membuat pria itu mengaduh kesakitan.
"Iya-iya, ampun! Aku nggak bakal godain kamu lagi, Mel. Veergef!" Diven memohon pada Melfa, namun gadis itu tak sekalipun melepaskan cubitan tangan kepitingnya itu.
(Veergef! = ampun/maaf!)
Diven yang tak ada habisnya menggoda dirinya, seakan justru membuat hidupnya lebih berwarna. Dengan sifat Diven yang seperti itu, Melfa bisa menjadi lebih bahagia juga.
Memang benar Diven hobi menggoda dirinya, tapi pria itu juga sangat menyayanginya. Saat Melfa sedang sedih, ujung-ujungnya Diven pasti juga menggodanya. Tujuannya agar bisa melihat senyum gadis itu kembali.
"Melfa?"
Sebuah suara membuat Melfa menghentikan aktivitasnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cemas. Perlahan ia menoleh, syukurlah yang dia temukan bukan papanya.
Menyadari orang itu adalah seseorang yang sudah lumayan lama tak dijumpainya, Melfa langsung berlari memeluk pria paruh baya itu.
"Om Papi! Melfa kangen Om Papi, kemarin Melfa ke rumah tapi Om Papi masih kerja," ucap Melfa yang lebih seperti mengadu karena kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Fiksi Remaja[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...