Sore yang cerah, suasana hati yang cerah, serta harapan yang cerah membuat Diven semakin bersemangat untuk menjalani kemoterapi hari ini.
Diven membelah jalanan ibu kota yang selalu padat dengan kuda besi hitamnya. Senyum manis tak pernah hilang dari wajah rupawannya sejak dia menyatakan perasaannya pada Melfa.
Di bawah pohon besar yang ada di pinggir jalan, Diven melihat seorang pria paruh baya terjatuh tak berdaya. Dia segera menepikan motornya dan berniat membantu pria paruh baya tak dikenalnya itu.
"Nggak papa, Pak? Atau mau saya anterin ke rumah sakit aja?" Diven membantu pria itu berdiri dengan susah payah. Pasalnya wajah pria paruh baya itu juga terlihat pucat, membuat Diven sangat khawatir.
"Tidak perlu, Mas. Tidak ada yang luka kok, paling cuma memar," jawab pria paruh baya itu sembari memegang lututnya.
"Beneran, Pak? Yaudah saya anterin pulang aja kalau gitu," ujar Diven yang merasa sangat kasihan pada pria itu.
"Saya bisa pulang sendiri kok, nggak perlu repot-repot, Mas," pria paruh baya itu menolak dengan bola matanya yang melihat ke arah belakang Diven.
Telinga Diven juga menangkap suara seperti langkah kaki di atas rumput, membuatnya semakin yakin di belakangnya ada sesuatu.
Bugh!
Sebelum Diven menoleh, pandangannya telah menggelap. Diven jatuh tak sadarkan diri karena kepalanya dipukul dengan sebuah balok kayu oleh orang yang dia tidak tahu siapa.
****
Tempat kumpul malam ini berbeda dari biasanya. De Knapste yang biasanya berkumpul di rumah Tian atau kafe favorit mereka, hari ini berkumpul di coffee shop yang berjarak tiga bangunan dari rumah Melfa.
Bukan tanpa alasan mereka memilih tempat ini. Mengingat malam ini mereka akan membahas masalah Yosha, jadi mereka mencari tempat yang sekiranya Yosha tak akan menduga mereka ada di sana.
Selain itu, karena Qilla mau ada Melfa yang menemaninya, jadi tempat ini pas untuk Melfa karena gadis itu tidak boleh keluar jauh-jauh dari rumah saat malam hari.
"Pertama nih gue mau kasih tau kalian, gue udah beberapa kali ngikutin Yosha ketemuan sama Ria, tapi gue masih nggak tau juga siapa dia sebenernya," ucap Yoshi.
"Karena lo payah," seloroh Tian seraya mengambil secangkir kopinya dan meneguknya, membuat Yoshi ingin mengumpat padanya.
"Sesusah itu ya kita cari tau tentang Ria, privasinya bener-bener terjaga. Gue jadi nggak enak sama Qilla," tutur Melfa dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik ke bawah.
"Udahlah biarin aja, nggak usah dilanjutin. Kalo Yosha lebih milih Ria, gue bisa apa?" ujar Qilla yang sudah pasrah.
Sepasrah itu Qilla sampai tidak mau lagi melanjutkan misi mereka. Hingga ketiga anak manusia yang sedang bersamanya memandangnya penuh tanda tanya. Ralat, kecuali Tian.
"Jangan gitu dong, kita harus cari tau juga apa yang bikin Yosha milih Ria," Melfa tetap kekeuh untuk melanjutkan misi.
"Udah jelas kan, pasti Yosha milih Ria karena dia cinta. Nggak ada lagi yang perlu dicari tau," Qilla mengedikkan bahunya.
"Wah! Sebangsat itu ternyata kembaran gue," Yoshi memukul meja. Gregetan dengan kembarannya yang menyebalkan itu.
Masalah hati, seharusnya diperlakukan dengan hati-hati. Jangan sampai menyakiti hati yang selama ini telah menemani karena adanya pengganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção Adolescente[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...