Duduk sendiri di tepi kolam renang dengan separuh kaki yang tercelup dalam air. Merefreshkan tubuhnya dengan terapi air yang biasa ia lakukan seperti saat otaknya sedang penuh dengan beban pikiran.
Bimbang, satu kata yang dapat menjelaskan keadaannya saat ini. Dan satu kata itu pula yang terus memenuhi hati dan pikirannya. Sangat mengganggu ketenangannya untuk beristirahat.
Jika ia harus memilih, tentu ia tidak bisa. Di satu sisi ia sangat menyayangi Melfa dan tidak mau membuka luka lama di hati gadis itu. Di sisi lain ia tak mau mengendurkan jalinan erat persahabatan yang sejak dulu telah ia bangun bersama Andra.
"Mikirin apa lo? Galau gara-gara cewek?" sebuah suara mengagetkan Ray. Ia menoleh dan menemukan Andra tengah berdiri dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke saku jaketnya.
Andra menggelengkan kepala beberapa kali sambil menghela nafas. Kemudian ia melepas sepatu yang ia pakai dan menggulung ke atas celana jeans panjang yang ia pakai. Lalu mengikuti Ray duduk di tepi kolam renang dengan mencelupkan sebagian kakinya.
Menyadari Ray yang menatapnya dengan wajah tanpa ekspresi sejak kedatangannya, Andra menunjukkan cengiran kudanya. "Kalau gue ganggu bilang aja kali. Jadi takut gue liat lo serem gini."
"Nggak!" ketus Ray cepat. Membuat Andra sedikit terperanjat dan mengelus dadanya. Rupanya ia perlu beradaptasi lagi dengan sifat Ray setelah sekian lama berpisah dan menjadikannya tak terbiasa dengan pria itu.
"Kenapa sih? Cerita aja kalau ada masalah. Gue kan pakar curhat, jadi semua masalah lo aman sama gue," ucap Andra membanggakan dirinya.
"Nggak!" masih sama lagi dengan nada yang sebelumnya. Tak ada perubahan sedikitpun dari ekspresi atau nada bicara Ray.
"Ohh...!! Gue tau, pasti gara-gara sifat temen lo yang namanya Andy apa Aldy itu yang kesel banget sama gue, kan?" tebak Andra setelah beberapa kali berpikir. "Santai aja kali, gue juga nggak peduli dia mau gimana ke gue."
"Nggak!" tak ada perubahan. Malah kini ekspresi Ray yang tadinya datar menjadi terlihat kesal. Sudah pasti karena Andra yang cerewet dan tak membiarkan ia mendapatkan ketenangannya.
Daripada mendapat perlakuan atau balasan yang tak mengenakkan dari Ray, Andra memilih diam. Mencoba memahami situasi dan bagaimana kondisi hati Ray sekarang.
Aishh.... Pikiran Andra turut dibuat kacau. Andra merasa dirinya seperti orang baru yang harus berusaha keras untuk terbiasa dengan sikap Ray yang satu ini. Tentunya waktu yang dibutuhkan pun tak bisa dibilang sebentar.
"Oh, iya! Diven itu pacar Melfa apa gimana, sih? Tadi gue liat mereka berduaan di ruang khusus anak basket," celetuk Andra tanpa sadar. Lalu ia pun dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan setelah Ray menoleh padanya.
Niat awalnya sih memang ingin menanyakan hal itu, tapi setelah melihat kondisi Ray sekarang ia pun mengurungkannya. Kemudian sekelebat ingatan itu kembali lagi dan membuat dirinya tanpa sadar menanyakannya langsung.
"Lo jangan deketin dia lagi, Ndra," lirih Ray pelan namun terdengar sangat berharap Andra menyetujuinya. Andra pun sekarang sepertinya tahu apa alasan Ray menjadi seperti ini.
Andra paham kalau Ray dalam keadaan bimbang. Jika ada di posisi Ray pun ia juga tidak bisa memilih. Sebisa mungkin ia akan menahan keduanya agar tidak pergi. Namun inilah hidup, selalu ada dua pilihan sulit yang semakin memperlambat dan menghambat kita untuk mencapai puncak kebahagiaan.
Andra mengangguk pelan dan menghela nafas. Berat tentunya, tapi ia harus melakukannya agar tidak ada yang terluka karena ego-nya. "Gue akan berusaha, tapi bukan berarti gue akan jauhin dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...