Sejak tadi Mr. Vandenberg terus mondar-mandir dengan tangannya yang memijit pelipisnya. Pusing, cemas, dan khawatir menunggu cucunya yang masih di dalam sana.
De Knapste yang sudah datang untuk menemani Mr. Vandenberg pun turut dibuat cemas. Pasalnya Mr. Vandenberg tidak mau istirahat. Padahal beliau sering kali pusing jika terlalu memikirkan Diven.
"Opa, Diven pasti bisa. Cucu Opa kan nggak lemah. Opa percaya Diven, kan?" ucap Tian mencoba menenangkan Mr. Vandenberg.
"Opa percaya, tapi keadaan Diven tidak meyakinkan. Dokter juga belum memberi kabar. Bagaimana Opa bisa tenang?" ujar Mr. Vandenberg yang tak ada habisnya mencemaskan Diven.
Si kembar yang duduk di dekat pintu tempat Diven sedang ditangani hanya bisa menghela nafas. Mereka juga mencemaskan keadaan Diven, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.
Dalam hati mereka juga menyumpah serapahi Aurel. Jelas-jelas Diven dalam keadaan seperti ini dia tak memunculkan dirinya sekali pun. Bahkan dia tak menghubungi mereka yang ada di rumah sakit untuk menanyakan keadaan Diven.
Ceklek!
Pintu ruangan terbuka, Dokter Kris keluar dengan wajahnya yang terlihat lelah dan lemas. Membuat mereka yang ada di sana semakin khawatir jika terjadi sesuatu pada Diven.
"Bagaimana keadaan Diven, Dok?" tanya Mr. Vandenberg seraya menarik tangan Dokter Kris. Memintanya untuk cepat-cepat menjelaskan.
"Lebih baik Diven melakukan transplantasi sumsum tulang karena kalau terus-menerus melakukan kemo juga akan menambah dampak tidak sehatnya," ujar Dokter Kris lemah.
"Saya bisa jadi pendonor, Dok!" Mr. Vandenberg mengajukan dirinya sendiri. "Tidak bisa jika anda memiliki riwayat penyakit," balas Dokter Kris cepat.
Cairan bening menetes dari mata Mr. Vandenberg membasahi pipi keriputnya. Menyalahkan dirinya sendiri yang memiliki riwayat penyakit sehingga tak bisa menolong cucunya.
"Saya temannya, Dok. Apa bisa jika saya mendonorkan sumsum tulang belakang saya?" tanya Tian dengan sungguh-sungguh, membuat Yosha dan Yoshi membelalakkan matanya.
"Persentasenya sangat kecil. Saya sarankan dari pihak keluarga saja yang memungkinkan persentase kecocokannya 25%," ujar Dokter Kris.
Mereka semua yang ada di sana sangat frustasi. Sesulit itu mendapat donor sumsum tulang. Terlebih lagi Diven tidak terlalu memiliki jumlah keluarga yang banyak.
"Urus surat rujukan Diven ke Belanda, Dok. Saya akan membawanya pulang ke Belanda saja," putus Mr. Vandenberg yang sudah terlalu bingung menghadapinya.
Beliau memaksa Dokter Kris untuk ke ruangannya. Meminta surat rujukan agar Mr. Vandenberg bisa membawa cucunya itu ke Belanda. Mungkin ini langkah terbaik yang bisa beliau lakukan.
Seusai kepergian Mr. Vandenberg bersama Dokter Kris, Tian meninju tembok rumah sakit sampai tangannya memerah. Merasa menyesal telah menjadi sahabat yang tak berguna.
"Yan, jangan sakitin diri lo sendiri. Kita juga sedih liat keadaan Diven sekarang," tutur Yosha untuk mencegah Tian yang ingin meninju tembok dengan tangannya lagi.
"Kenapa di saat kayak gini justru gue nggak bisa bantu dia?!" seru Tian dengan tubuhnya yang perlahan merosot ke bawah. Duduk di lantai dengan kepalanya yang ia sembunyikan di balik lipatan tangannya.
"Lo bisa bantu lewat doa lo, Yan! Jangan gini, tunjukin kalo lo percaya Diven bisa lewatin ini semua," Yoshi memegang bahu Tian, memberi semangat pria itu.
Selama ini mereka tahu bahwa di lingkaran pertemanan mereka itu Tian yang paling bisa mengendalikan emosi dan bersikap tenang. Namun lihat sekarang ini, pria itu sudah tak bisa melakukan hal-hal yang biasa dia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Roman pour Adolescents[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...