15 ~ Vijftien

771 58 2
                                    

Di dalam sebuah kamar dengan nuansa hitam dan putih, terdapat seorang remaja yang tengah berbaring di atas kasur empuknya. Merasakan kenyamanan pada tubuhnya.

Seharusnya saat ini ia gunakan waktunya untuk istirahat dan melepas penat setelah seharian berkegiatan di sekolah. Capai pikiran dan fisik sudah tentu, karena itu memang salah satu tantangan dalam mencapai masa depan yang cerah.

Biasanya setelah pulang sekolah ia akan tidur sebentar agar lelahnya hilang. Tapi semenjak dua jam ia berbaring di tempat tidurnya, matanya tak kunjung terpejam.

Kepalanya dipenuhi dengan satu nama seorang gadis. Sudah jelas ini penyebab utamanya tak bisa memejamkan mata. Khawatir akan gadis itu di luar sana. Terlebih jika nantinya orangtuanya tahu dan memarahi gadis itu.

"Kenapa dia selalu berulah saat Melfa sama gue?" monolognya. Kesal dengan kejadian di sekolah. Jika diingat-ingat sudah beberapa kali pria itu selalu berulah padanya dan Melfa.

Ah, itu tidak terlalu penting untuk saat ini. Menurutnya, yang paling utama dan terutama saat ini adalah bagaimana cara agar nantinya gadis itu tidak dihukum orangtuanya karena kesalahan orang lain.

Tidak mungkin ia bisa melakukannya sendiri untuk saat ini. Sepertinya ia memang perlu bantuan dari seseorang yang tepat. Orang yang dapat dipercaya oleh kedua orangtua gadis itu.

Tak mau terlambat mengambil tindakan, ia segera keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah. Tujuannya saat ini ke ruang keluarga, karena ia yakin orang yang ia cari akan berada di tempat itu saat sore seperti ini.

Benar dugaannya, di sana ia menemukan seorang pria paruh baya yang masih terlihat muda dengan baju kerja yang masih melekat di tubuhnya.

"Pi," lirih Ray sembari mendekat pada Papinya. Memilih duduk di samping Papinya dan menatapnya dengan serius agar Papinya tahu maksudnya.

Pria paruh baya itu menoleh, "Hey! Ada apa? Pasti mau minta sesuatu atau minta tolong Papi, nih."

Ray tersenyum, meskipun tak begitu terlihat jelas. Dia kan tipe pria cool, jadi pelit senyum gitu. Tapi Papinya sudah terbiasa, buktinya beliau sekarang malah mengusap puncak kepala Ray dengan pelan.

"Ray mau minta tolong sama Papi. Bukan buat Ray, tapi buat Melfa," ucap Ray langsung pada tujuannya. Dari sorot matanya, ia terlihat sangat berharap Papinya akan membantunya.

"Loh, emangnya Melfa kenapa?" tanya Papi Ray yang terlihat bingung. Raut khawatir juga tercetak di wajah pria paruh baya itu. Takut kalau ada sesuatu pada Melfa.

"Melfa nggak papa, Pi. Dia tadi pergi, terus lupa kalau ada tugas kelompok buat besok. Jadi sekarang dia masih ngerjain di rumah temennya," jelas Ray dengan sangat lancar.

"Iya, terus Papi harus gimana?" Papi Ray menunjukkan ketidakpahamannya secara terang-terangan.

Di sampingnya, Ray tampak diam. Menimbang-nimbang lagi apakah ia benar mengambil langkah untuk meminta bantuan Papinya. Pasalnya sulit sekali untuk membujuk Papinya jika masalahnya bersangkutan dengan orangtua Melfa.

"Ray minta tolong Papi bilang ke Om Raffa kalau Melfa ada di sini," lirih Ray. Dari nada bicaranya sangat kentara ia takut mengucapkannya.

Papi Ray sedikit tersentak. Beliau mematap Ray dalam. Menelisik sebenarnya apa yang sedang terjadi hingga anaknya memintanya untuk membohongi Raffa.

"Papi nggak bisa kalau bohongin Om Raffa," tolak Papi Ray. Pokoknya beliau angkat tangan kalau harus membohongi Raffa. Urusannya akan jadi panjang kalau sampai ketahuan.

"Please, Pi. Kasian Melfa nanti kalau dimarahin sama Om Raffa," kekeuh Ray yang ingin Papinya berbicara pada Raffa.

"Kenapa Om Raffa harus marah? Melfa kan ngerjain tugas, bukan main nggak jelas," jawab Papi Ray santai. Dalam lubuk hatinya beliau juga sedikit curiga. Pasti ada hal yang disembunyikan oleh Ray tentang Melfa.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang