04 ~ Vier

1.2K 93 16
                                    

PLAGIAT JAUH-JAUH DARI CERITA INI!!!

*****

Siang ini matahari bersinar sangat terik. Panasnya menyengat kulit sampai terasa seperti dipanggang. Hal inilah yang dirasakan dua orang gadis yang tengah menunggu jemputan mereka di halaman sekolah.

"Itu supir gue udah dateng, Mel. Gue duluan nggak papa kan?" Qilla menunjuk sebuah mobil berwarna putih yang baru saja memasuki halaman sekolah.

"Iya nggak papa," Melfa menunjukkan senyum manisnya. Tangannya melambai saat Qilla hendak pergi menghampiri mobilnya yang berhenti di dekat pagar sekolah.

Sepi dan sendiri lagi, itulah yang dirasakan Melfa sekarang. Meskipun di SMA BW masih ada banyak siswa yang belum pulang, namun menurutnya ini tetap sepi. Tidak ada satupun yang benar-benar ia kenal dekat.

"Pak Joko tumben lama banget. Apa gue telfon Mama aja, ya?" monolog Melfa. Kepalanya celingukan mencari-cari mobil yang biasa digunakan Pak Joko untuk menjemputnya. Nihil, tak terlihat satupun mobil yang masuk ke halaman SMA BW.

Tidak ada pilihan lain lagi selain menghubungi Mamanya. Melfa mengambil ponselnya yang ada di dalam tas ranselnya. Jarinya bergerak lincah mencari kontak mamanya.

Tinggal satu langkah lagi ia menekan tombol berbentuk gagang telefon untuk memanggil Mamanya, namun ada sebuah jari yang mengetuk pundaknya.

Melfa sedikit terkesiap. Refleks ia berbalik, lalu mendapati ketiga teman sekelasnya tengah menatapnya aneh.

"K-kalian ada perlu sama g-gue?" Melfa menunjuk dirinya sendiri dengan ragu. Tidak biasanya ketiga gadis itu mencarinya. Apalagi mengingat Melfa yang hampir tidak pernah berurusan dengan tiga gadis hits yang satu kelas dengannya itu.

"Menurut lo?" tanya Nesya dengan ketus. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Raut wajahnya terlihat tak bersahabat pada Melfa.

"Ya gue nggak tau, makanya gue tanya kalian. Kali aja salah orang gitu," balas Melfa berusaha cuek.

Sebenarnya Melfa bukan tipe gadis yang cuek bebek dengan suatu masalah, ia jauh dari sifat cuek Papanya. Namun kerap kali ia berpura-pura cuek untuk menutupi semuanya rasa penasaran dan kegugupunnya.

"Si langganan peringkat satu di kelas aja ternyata bisa tolol gini. Apa jangan-jangan lo dapet peringkat kelas dari hasil menang give away?!" ujar Aurel tajam. Walaupun bibirnya tipis, gadis itu terkenal dengan kepedasan bibirnya saat mengatai seseorang.

Selama sekolah di SMA BW, Melfa selalu mendapat peringkat satu di kelasnya. Ia terkenal cerdas di jurusan IPS. Bahkan guru-guru sampai hafal dengannya. Guru-guru juga banyak yang menyukainya karena kecerdasan dan kerendahan hati gadis itu.

"Kelamaan!" ucap Vanes kesal. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang dengan gaya sombongnya. "Langsung ke intinya aja. Apa hubungan lo sama Diven sampai-sampai lo disamperin ke kelas dan diajak ke kantin?"

"Nggak ada apa-apa. Kan yang ada apa-apa itu lo karena lo pacarnya," jawab Melfa polos. Kedua alisnya bertaut, heran dengan pertanyaan dari gadis itu yang sangat tiba-tiba.

"Ck. Kalau nggak ada apa-apa kenapa waktu hari apa itu juga dia gendong lo ke UKS?" lama-kelamaan Vanes terlihat gemas sendiri berbicara dengan Melfa. Rasanya ia seperti sedang berbicara pada anak kecil yang baru belajar berbicara.

"Kok belum pulang, schat?" (Schat = panggilan sayang di Belanda)

Sebuah suara seorang pria membuat perhatian ketiga gadis itu teralih. Mereka menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang Vanes. Di sana telah berdiri Diven dengan ketiga temannya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang