17 ~ Zeventien

658 54 18
                                    

Suasana UKS SMA BW yang biasanya sangat sepi dan damai, kini berubah menjadi sangat ramai dan menegangkan. Banyak guru yang berkumpul di UKS dengan penuh rasa cemas dan gelisah.

Di sebuah sudut, Melfa yang seharusnya menangani pun tak bisa berbuat apa-apa karena telah ada dokter yang dipanggil langsung dari rumah sakit untuk menangani Diven.

Brak!

Pintu UKS terbuka dan menampilkan laki-laki berusia lanjut dengan wajah Belanda yang Melfa tahu adalah Mr. Vandenberg. Lalu di sampingnya ada seorang laki-laki paruh baya mengenakan jas berwarna putih dengan badge name bertuliskan dr. Kris. Ya, ternyata Mr. Vandenberg datang bersama seorang dokter.

"Bagaimana keadaan Diven?! Kenapa dia bisa seperti ini?!" tanya Mr. Vandenberg yang terkesan lebih menuntut daripada bertanya. Dari mimik wajahnya, beliau terlihat sangat khawatir saat menghampiri cucunya yang terkulai lemas.

"Maaf, Tuan. Menurut murid yang menyaksikan kejadiannya, Diven pingsan saat ia hendak pergi setelah makan di kantin," jawab Pak Faris, kepala sekolah SMA BW dengan sangat hati-hati.

Mr. Vandenberg menghela nafas pelan. Beliau melihat ke arah Melfa sebentar sebelum beralih pada Tian. "Benar begitu, Tian?"

"Iya, Opa," jawab Tian yakin. Melfa rasa anggota De Knapste memang sudah akrab dengan keluarga satu sama lain. Terbukti dengan Tian yang memanggil Mr. Vandenberg dengan sebutan Opa.

"Saya dokternya Diven, untuk lebih lanjutnya biar saya saja yang memeriksa Diven," ucap Dokter Kris untuk mengambil alih pemeriksaan Diven.

Dokter yang sebelumnya telah memeriksa Diven tersenyum dan bergeser untuk memberi tempat agar Dokter Kris dapat memeriksa Diven.

Suasana UKS kian sesak dan panas. Kepala sekolah meminta para guru untuk keluar mengantarkan dokter yang telah dipanggil tadi. Kini hanya menyisakan Diven, Mr. Vandenberg, Dokter Kris, dan Pak Faris yang ada di dalam UKS. Serta Melfa, Tian, Yosha, dan Yoshi yang berdiri di ambang pintu.

Dokter Kris melepas stetoskopnya, kemudian menghela nafas pelan sebelum angkat bicara. "Kondisi tubuh Diven bisa dibilang cukup lemah. Saya rasa ini karena kemarin Diven bolos kemoterapi."

Jeduar!!

Bagai disambar petir di siang bolong, Melfa sangat terkejut. Bisa dibilang Diven seperti ini karena dirinya. Andai saja ia tahu Diven memiliki sebuah penyakit dan kemarin adalah jadwal kemoterapinya, ia akan berusaha keras mencegahnya tetap pergi.

Mata Melfa telah memerah, sudut matanya juga telah berair. Hatinya sungguh merasa bersalah atas apa yang dialami Diven. Di saat inilah ia mengakui bahwa ia tidak lebih menyebalkan dari Diven.

"Kasian Diven, sejak kecil dia telah ditinggal pergi oleh orangtuanya untuk selama-lamanya dan dia harus menanggung penyakitnya sendiri," Mr. Vandenberg menghela nafas sejenak. "Kalau bisa pindahkan saja penyakitnya pada saya, Dok! Pindahkan pada saya!" Teriak Mr. Vandenberg dengan air mata yang telah membasahi pipinya.

Lagi-lagi Melfa mendengar fakta mengejutkan tentang Diven. Ternyata kedua orangtua pria itu telah meninggal sejak ia kecil. Pantas saja ia selalu marah dan kesal jika Melfa menyebut Papa Tembok.

"Istighfar, Pak, istighfar! Diven bisa sembuh asal dapat dukungan yang cukup dari orang di sekitarnya," ucap Dokter Kris bijak. Berharap Mr. Vandenberg bisa tenang.

"Lalu apa yang harus saya lakukan, Dok? Saya rela keluar uang berapapun asal Diven sembuh. Hanya Diven yang saya punya. Tolong sembuhkan Diven!" pinta Mr. Vandenberg lagi. Beliau yang biasanya terlihat tegas di depan para guru dan siswa SMA BW, kini terlihat rapuh saat melihat keadaan Diven.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang