Terik matahari begitu menyengat kulit, membuat siapa saja enggan untuk menerobosnya langsung. Benda-benda yang terkena sinarnya terasa sangat panas saat disentuh.
Seorang gadis dengan tubuh mungil berdiri di koridor yang berseberangan langsung dengan tempat parkir siswa. Niatnya hari ini ia ingin ikut Ray pulang ke rumah pria itu.
Sebuah jari lentik menepuk pundaknya beberapa kali, membuat gadis itu menoleh. "Kenapa, Van?" tanyanya saat melihat Vanes.
"Gue mau tanya sesuatu, tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya, Mel?" pinta Vanes. Melfa menautkan kedua alisnya bingung, namun akhirnya ia mengangguk juga.
"Lo kan udah pacaran sama Diven, terus R-ray gimana? Kata orang-orang kan Ray tuh deket sama lo dan kemungkinan kalian pacaran," tutur Vanes sembari memainkan jemarinya.
Gadis itu mengerutkan keningnya saat mendengar Melfa malah tertawa puas. Seakan pertanyaan Vanes ini hanya candaan.
"Kok lo malah ngetawain gue sih, Mel?" tanya Vanes terheran-heran. Kesal juga karena Melfa tak kunjung menjawab.
"Abisnya lo lucu sih. Mana ada orang pacaran sama sepupu sendiri?" Melfa memegangi perutnya yang mulai kram.
Kedua mata Vanes terbelalak. Tak menyangka jika Ray adalah saudara sepupu Ray. Pasalnya perlakuan Ray pada Melfa saja seperti Ray memperlakukan seorang kekasih.
"Yakin lo, Mel? Jangan boongin gue deh," Vanes mengibaskan tangannya di depan wajah Melfa.
"Yakin lah, Mama gue tuh adiknya Om Papi Satya, papinya Ray," jelas Melfa secara rinci. "Andai nama gue pake marga keluarga Mama, pasti lo percaya karena nama Ray pake marga keluarga juga."
Vanes mengangguk-angguk kecil. Gadis itu pikir Melfa jujur, dan ia mempercayainya. Terlebih lagi mengingat Melfa itu tidak begitu dekat dengan yang namanya pria selain orang-orang terpilih.
"Eumm... Mel," lirih Vanes, Melfa menaikkan alisnya sebagai jawaban. "G-gue mau nitip sesuatu buat Ray, boleh nggak?"
Dikeluarkannya sebuah kotak berukuran sedang dari dalam tasnya. Lalu kotak itu ia serahkan pada Melfa. "Tolong kasihin ke Ray, ya. Gue nggak berani kasih ke dia langsung."
Bukannya menjawab, Melfa justru tersenyum penuh arti. Vanes tahu betul apa yang ada di pikiran gadis itu. Sebentar lagi pasti Melfa akan menggodanya.
"Ini tuh sebagai ucapan terima kasih gue karena dia udah bantuin waktu ban mobil gue bocor, s-sekalian kado buat dia karena jadi kapten basket sih," cicit Vanes dengan matanya yang menatap lurus kotak itu.
"Ohh... Iya bisa-bisa," balas Melfa yang percaya dengan jawaban Vanes. Sepolos itu Melfa sampai ia tak tahu maksud tersembunyi Vanes.
Saat tangannya hendak menyentuh kotak itu, Melfa kembali menariknya karena ia melihat Ray yang berjalan bersama Andra dan Aldy.
"Ray!" seru Melfa cukup lantang. Ketiga pria itu menoleh, mereka menghampiri Melfa dengan Ray yang jalan lebih depan.
Dasar Melfa, ia tidak tahu saja kalau gadis di sampingnya itu sudah mati kutu. Bahkan untuk bernafas saja susah karena saking deg-degannya ada Ray.
"Kenapa? Ayo pulang, katanya mau main ke rumah," ucap Ray lembut seraya meraih tangan Melfa untuk dibawanya pergi.
Ia benar-benar tak melirik Vanes sedikit pun, seakan di sana Melfa itu sendirian. Tak dapat dipungkiri hati Vanes memanas, meskipun dirinya tahu mereka bersaudara.
"Iya, abis ini langsung berangkat. Tapi ini Vanes mau kasih hadiah dulu buat lo," Melfa menarik tubuh Vanes agar sedikit lebih maju.
Vanes membulatkan matanya, bibir bawahnya ia gigit, tak tahu harus mengucapkan apa. Apalagi kini Ray sudah melihat langsung ke arahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção Adolescente[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...