Tanpa alasan tertentu Melfa terus berjalan, mengikuti ke mana langkah kakinya membawanya pergi. Tak ada tujuan, seperti sesorang yang kesepian diantara keramaian orang.
Pada akhirnya langkah kakinya itu membawanya ke rooftop sekolah. Tempat di mana Melfa tidak pernah memijakkan kakinya sekali pun selama ia bersekolah di SMA BW.
Tidak ada sebuah sofa seperti di kebanyakan novel yang ia baca. Tidak ada apapun di sini, sehingga Melfa hanya duduk tanpa alas. Bibirnya tersenyum simpul, kehidupan nyata sangat berbeda dengan cerita.
Ingatannya kembali pada kejadian di kantin kemarin, saat Diven melewatinya begitu saja. Tadi ia juga sempat berpapasan dengan Diven, dan pria itu juga melewatinya begitu saja.
Tanpa diundang, dengan lancangnya air mata Melfa turun membasahi pipi putihnya. Menjebol benteng pertahanan baja yang selama ini telah Melfa bangun.
"Jangan nangis, Mel. Nanti Papa tembok bisa marah," ucap Melfa pada dirinya sendiri. Tangannya mengusap air mata itu. Bukannya berhenti, air matanya yang turun justru semakin deras.
Jika ditawari, Melfa juga tidak ingin menangis. Melfa tidak ingin menunjukkan sisi lemahnya, yang Melfa mau hanya menunjukkan senyumnya, meskipun palsu. Namun apa daya? Air matanya tak bisa ia tahan.
"Kenapa nangis di situ?"
Secepat kilat Melfa menghapus air matanya saat mendengar suara itu. Suara milik seseorang yang menyebabkannya menangis. Orang yang sangat ia benci dan ia cinta di waktu bersamaan.
Melfa menoleh, pria itu telah berdiri di sampingnya hingga membuat Melfa harus mendongak karena tubuhnya yang menjulang tinggi. "Kenapa ke sini?" tanya Melfa lembut dengan senyumnya.
Bahkan kamu masih bisa senyum walaupun kamu bener-bener rasain sakit, Mel, batin pria itu saat melihat senyum Melfa serta hidung gadis itu yang memerah karena menangis.
Pria itu mengikuti Melfa duduk tepat di samping Melfa. Tangannya merogoh saku celana, mengambil sebuah permen dan memberikannya pada gadis itu.
"Nih, permen," ucapnya, namun Melfa tak kunjung mengambilnya dan membuatnya meraih tangan Melfa untuk menggenggamkan permen itu.
Melfa meneliti wajah pria itu yang sekarang menatap lurus ke depan. Semuanya masih sama. Bentuk hidung, bibir, dan mata indah itu tidak berubah. Dia masih Diven yang dulu, hanya saja sifatnya yang berbeda.
"Kata orang-orang kalo anak kecil nangis dikasih permen bisa diem," ujar Diven. Membuat Melfa tahu bahwa pria itu masih suka menggodanya. Ternyata tak sepenuhnya Diven berubah.
"Gue bukan anak kecil," sahut Melfa seraya mengamati sebuah permen yang diberikan Diven.
"Kenapa pake 'gue' lagi?"
"Emangnya boleh kalo gue yang bukan siapa-siapa lo lagi manggil pake 'kamu'?"
"Emang kita pernah putus?" tanya Diven yang berhasil membuat Melfa membulatkan kedua matanya. Tak tahu harus mengatakan apa, perasaannya sedang campur aduk antara senang dan takut jika ini hanya permainan semata.
Kalau dipikir-pikir benar juga. Di antara mereka berdua bahkan tak satu pun mengatakan putus atau mengakhiri hubungan mereka. Hanya hubungan mereka saja yang sedikit membuat jarak.
"Mel," lirih Diven pelan, gadis itu hanya menyahuti dengan deheman. "Maaf," lanjut Diven yang terdengar sangat menyesal.
"Buat apa?"
"Buat semuanya. Kesalahan yang aku buat udah terlalu banyak, Mel. Makasih juga udah bertahan sampe sekarang," Diven meraih tangan Melfa untuk menggenggamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção Adolescente[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...