Semilir angin malam menyapu lembut wajah Diven. Hawa dingin tak menyurutkan niatnya untuk pergi mengunjungi rumah gadis yang ia sayang.
Pagar rumah dengan tinggi menjulang ada di hadapannya. Diven telah tiba sejak 15 menit yang lalu, namun mental dan jiwanya belum benar-benar tiba di sini.
Drrttt... Drrttt...
"Halo!" sapa Diven setelah ibu jarinya menggeser tombol hijau pada layar benda pipih itu.
"Ini yang lo bilang otw sampe sejam nggak nyampe?" sindir pria di seberang sana dengan nada bicaranya yang sangat dingin seperti biasanya.
"Gue udah nyampe, anjir! T-tapi masih di depan pager, nyiapin mental du--"
Tut tut tut
Panggilan telah diputuskan pria itu secara sepihak sebelum Diven menyelesaikan kalimatnya. Rasanya ingin sekali Diven menghantam kepala pria itu dengan batu.
Tiba-tiba pagar tinggi menjulang itu terbuka, membuat Diven terkesiap dan hampir jatuh dari motornya. Takut jika orang yang membuka pagar itu adalah papa gadis itu.
"Buruan masuk sebelum gue tinggal!" ternyata pelakunya adalah Ray. Pria itu yang membuka pagar dan mengejutkan Diven.
Tidak apa-apa, Diven masih sabar. Ray kan mau membantu Diven, jadi lebih baik Diven bersikap baik pada pria itu agar rencananya berjalan dengan mulus.
"Tungguin! Takut banget ini gue," rengek Diven yang sibuk memarkirkan motornya saat melihat Ray mulai masuk ke dalam rumah itu.
Ray menghentikan langkahnya, menuruti pria itu. Kasihan juga melihat wajah Diven yang biasanya suka arogan itu menjadi seperti anak kecil.
Diven meneguk salivanya susah payah ketika melihat beberapa orang yang sudah duduk di ruang tamu rumah itu. Tangannya bergetar hebat, rasanya sudah seperti pertemuan keluarga.
Dengan sopan Diven mencium tangan satu persatu orang yang lebih tua darinya itu. Terakhir, saat menyalami Raffa, benar-benar sangat mengerikan baginya. Tidak ada senyum sedikit pun di wajah Raffa.
"Ini Diven, Om," ucap Ray sembari menunjuk Diven yang sedang dipersilahkan duduk oleh Satya.
"Horee... Kakak ganteng main sini lagi!" Kayla berlari dari pangkuan Nara untuk memeluk Diven. "Kayla kangen Kakak ganteng. Nanti kita main ke taman waktu itu, ya?"
Kedua mata Melfa membulat sempurna, bibir bawahnya ia gigit. Dirinya tak berpikiran Kayla akan mengatakan hal yang berbau dengan kejadian di taman itu lagi.
"Kayla, mau beli es krim sama Kak Ray, nggak?" Ray berjongkok di depan Kayla. Menyadari situasi sekarang ini, lebih baik ia membawa Kayla pergi.
"Mau! Tapi Kakak ganteng diajak, soalnya Kayla masih kangen," Kayla menggenggam tangan Diven erat.
"Kakak gantengnya nanti capek kalo ikut, terus kalo capek entar nggak jadi main sama Kayla gimana?" tanya Ray lembut.
Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya. Kecewa karena tidak bisa membawa Diven bersama dengan dirinya. "Yaudah, Kayla sama Kak Ray aja."
Dengan gerakan cepat, Ray menggendong Kayla. Membawanya pergi keluar untuk membelikannya es krim. Hal ini lebih baik daripada Kayla mendengar obrolan orang-orang dewasa itu.
"Benar kamu yang memacari anak saya?" tanya Raffa to the point setelah Ray dan Kayla telah hilang dari pandangannya.
"Benar, Om,"
"Sejak kapan?"
"Acara sekolah beberapa hari lalu,"
"Jadi kamu sudah buat anak saya berani melanggar larangan orang tuanya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/229911297-288-k437342.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...