52 ~ Tweeenvijftig

423 33 6
                                        

Pagi ini langit sangat cerah dengan terang dan hangatnya sinar mentari. Sayangnya sangat kontras dengan apa yang dirasakan Diven. Bertolak belakang, hati Diven sangat gelap dan dingin.

Mengenakan kemeja putih, setelan jas berwarna hitam, dasi hitam, serta derby shoes. Rambutnya juga telah tertata rapih, lebih rapih dari biasanya yang memang selalu rapih.

Hari ini adalah hari di mana Diven akan menikahi gadis bernama Aurel. Hanya keluarga terdekat saja yang datang. Nantinya juga ada kakek Diven, ayah dari ibunya yang berdarah Indonesia.

Tiga orang pria rela absen sekolah untuk menemani Diven di kamarnya. Ekspresi mereka tak terlalu bisa dibaca. Seperti memberi semangat dan mendukung Diven, namun juga ada rasa iba, kasihan, dan marah.

"Sebaiknya kita cari tau dulu Aurel beneran hamil apa enggak, Div," ucap Yosha yang sekarang lebih tak rela temannya menikah.

"Dia hamil," sahut Diven singkat, padat, dan jelas. Seperti malas-malasan untuk berbicara.

"Jangan bilang lo tau dia hamil cuma karena test pack itu, bisa-bisa kepala lo digetok ama mereka," Yoshi menunjuk Tian dan Yosha menggunakan dagunya. Lalu ia lanjut memakan apelnya.

"Kemarin udah dicek ke rumah sakit, nggak puas?" ujar Diven seraya membenarkan dasinya yang sudah miring.

Ketiga pria yang bersamanya itu diam. Aurel benar-benar hamil dan Diven benar-benar akan menikahi gadis itu. Sangat gila untuk dipercaya sebagai fakta. Padahal mereka belum selesai mencari bukti lain.

Helaan nafas keluar dari bibir Tian, membuat yang lainnya menatap Tian bingung. Namun sedetik kemudian mereka mengalihkan pandangannya karena Tian menatap mereka tajam.

"Kalo gue bilang Aurel, Ria, dan Erfan saling berhubungan, gimana?" tanya Tian yang didukung anggukan kepala oleh si kembar.

Kali ini hanya Diven yang diam. Mendengar ucapan Tian, otaknya membuat ingatannya berputar ke belakang. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

Sebagai sepupu yang baik justru gue mau bilang kalo masalah besar sedang menanti lo dan...

Kalimat itu terus mengganggu kepala Diven. Erfan yang mengucapkannya, dan semua gadis yang bermasalah dengan dirinya atau De Knapste selalu ada hubungannya dengan Erfan.

Kedua tangan Diven terkepal kuat. Dia semakin yakin kalau ini semua hanya permainan Erfan agar dirinya terjebak dalam pernikahan tak diinginkan ini.

"Nggak papa, biar gue nikah. Seiring berjalannya waktu, kita liat gimana rencana dia," ujar Diven dengan senyum miring yang tercetak jelas di wajahnya.

"Diven, kom snel uit! Sebentar lagi penghulu datang!" seru Mr. Vandenberg dari luar kamar Diven. (kom snel uit! = cepat keluar!)

"Ja, Opa!" jawab Diven tak kalah keras. Kemudian ia melangkah pergi, diikuti oleh tiga temannya yang selalu setia untuk menemaninya. (Ja = iya)

Langkahnya terlihat sangat mantap, namun tidak untuk hatinya. Raganya akan mendapat seorang gadis, namun hatinya menginginkan gadis lain. Andai saja masalah ini tidak terjadi, mungkin hari ini Diven ada di sekolah bersama dengan Melfa.

*****

Definisi surga bagi siswa kelas XII IPS 2 sekarang ini adalah waktu istirahat setelah pelajaran sejarah yang membosankan dan menjadi sulap untuk mereka tidur.

Seperti biasa, saat guru yang mengajar keluar kelas, seisi kelas langsung ricuh dan ramai bak pasar pagi. Terlebih lagi siswa perempuannya yang langsung bergosip di sana-sini.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang