16 ~ Zestien

700 53 11
                                    

Langit malam bertaburan seribu bintang, angin malam yang bertiup kencang, dan suara burung malam seakan menyambut kedatangan Diven di rumah mewah nan megah milik Opa-nya.

Rumah dengan suasana hijau sejuk tanaman-tanaman di halamannya itu hanya ditinggali oleh dua manusia saja, yaitu Diven dan Opa-nya. Mungkin masih ada banyak orang di rumah itu, tapi mereka hanya pekerja di sana.

Sampai di depan rumah hanya perlu melemparkan kunci motor pada salah satu pembantu yang selalu siaga di depan pintu rumah tanpa harus bersusah payah memasukkannya ke dalam garasi. Karena hal itu bukan tugasnya, itu adalah tugas pembantu di rumahnya.

Diven mulai memasuki rumah dengan tangannya yang bergerak melepas jaket yang ia kenakan. Lelah rasanya setelah beraktivitas seharian penuh ini. Tapi baginya lelah itu tak berarti, karena hari ini ada kepuasaan tersendiri dalam hatinya.

"Diven!"

Langkah kaki panjang nan lebar milik Diven seketika terhenti saat mendengar panggilan itu. Tangannya menyisir rambutnya ke belakang dan menghembuskan nafas keras-keras.

"Dari mana saja kamu?" tanya seorang laki-laki berusia lanjut yang tak lain adalah Mr. Vandenberg. Dari sorot matanya terlihat beliau begitu marah dan murka.

Berbalik dan menunjukkan wajah pasrahnya adalah tindakan yang diambil Diven. "Diven habis dari rumah Tian, Opa. Biasanya kan juga gitu."

"Lieg niet tegen Opa!" bentak Mr. Vandenberg dengan membanting buku yang di bacanya ke atas meja, membuat beberapa pembantu yang ada di sana ketakutan. Pasalnya Mr. Vandenberg jarang marah seperti ini. (Lieg niet tegen Opa! = Jangan berbohong pada Opa!)

Di sini Diven telah mencium bau-bau Opa-nya telah mengetahui kelakuannya. Bahkan ia rasa untuk menjawab di saat Mr. Vandenberg murka saja percuma. Tidak akan membuahkan hasil, yang ada hanya semakin menyulitkan posisinya sekarang.

"Kalau kamu benar-benar bersama Tian, tidak mungkin Tian membiarkan kamu melewatkan jadwal kemoterapi!" bentak Mr. Vandenberg terlewat murka. Kedua tangannya memegang kepalanya yang berdenyut, frustasi menghadapi cucu satu-satunya yang sulit dinasihati.

Sakit rasanya saat melihat orang yang kita sayang terlihat begitu frustasi. Mau bagaimana lagi? Ini semua sudah terlanjur dan Diven tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk berkata-kata saja sudah tidak mampu.

"Dokter Kris telfon Opa. Beliau bilang kamu tidak datang untuk kemoterapi minggu ini. Sebenernya kamu niat sembuh atau tidak, Diven?!!" tanya Mr. Vandenberg. Jujur saja beliau kesal karena Diven yang terus diam.

Pikiran Diven sedang kacau. Entah apalagi yang harus ia perbuat. Tentu ia ingin sembuh. Tapi jika terus ditekan seperti ini ia juga bisa stress sendiri. Harapannya untuk sembuh pun semakin pudar.

"DIVEN!! Jawab Opa! Kamu mau sembuh atau tidak?! Percuma Opa mengeluarkan banyak dana hanya untuk ke--"

"Stop, Opa!" potong Diven cepat. Dadanya naik turun akibat nafasnya yang memburu. "Diven pengen sembuh, Diven pengen normal kayak temen-temen Diven yang lain, Diven pengen hidup bebas tanpa kemoterapi yang nggak ada gunanya itu!"

"Kalau kamu pengen sembuh, kenapa kamu bolos kemo--"

"Diven belum selesai!" potong Diven lagi. Bibirnya yang putih pucat sedikit bergetar saat menatap Mr. Vandenberg. Kepalanya pusing, tak tahan lagi dengan semua omelan Opa Vandenberg.

Tentu saja Diven pengen sembuh, tapi pakai caranya sendiri. Jika terus ditekan justru mentalnya akan down. Orang lain hanya bisa mengatur dan memerintahnya tanpa tahu apa yang sebenarnya ada di dalam lubuk hatinya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang