14 ~ Veertien

804 60 6
                                        

Tok tok tok

Bunyi ketukan pintu tiga kali menggema di seluruh penjuru ruangan yang cukup besar dan terlihat sangat rapih itu. Sebuah ruangan yang diketahui oleh orang-orang penting dan karyawan perusahaan sebagai ruangan milik CEO Global Corp.

Herga, Sang CEO Global Corp sudah bisa menduga siapa orang yang mengetuk pintu itu. Kalau bukan sekertarisnya, ya istrinya atau anak semata wayangnya. Jika selain tiga orang itu, pasti sekertarisnya akan menghubunginya terlebih dulu.

"Masuk!" balas Herga yang terdengar tegas dan lantang. Mungkin ini sudah terbiasa menjadi bawaannya karena mengingat posisinya di perusahaan yang tidak bisa dibilang rendahan.

Ceklek

Pintu terbuka, menampilkan seorang pria remaja dengan senyum lebarnya. Ia menutup lagi pintu itu sebelum melangkah menghampiri Herga.

Benar dugaan Herga, yang bertamu ke ruangannya adalah putranya sendiri. Tapi putranya itu datang tiba-tiba dan langsung memberikan senyum lebarnya yang justru membuat Herga curiga.

"Gimana kabar Papa?" tanya pria itu sembari duduk di kursi seberang meja kerja Herga. Dari cara duduknya terlihat kalau dia pantas jadi penerus Herga sebagai CEO Global Corp.

"Emangnya berapa lama kamu nggak ketemu Papa? Orang tadi pagi juga ketemu di rumah pakai sok-sokan tanya kabar Papa," balas Herga dengan matanya yang terpaku pada berkas yang ada di tangannya.

Pria itu terkekeh. Ia rasa percuma berbasa-basi pada papanya. Sepertinya Herga sudah tahu apa maksudnya. Intinya di balik kelakuannya ini ada keinginan tersembunyi bukan?

"Kamu mau minta apa? Papa lagi sibuk, jangan buang-buang waktu," Peringat Herga. Kali ini pria paruh baya itu fokus pada anak semata wayangnya itu.

"Aku nggak minta aneh-aneh kok, Pa. Cuma minta pindah sekolah ke Indonesia aja. Aku pengen sekolah di sekolah Belanda yang ada di Ja--,"

"Kamu bilang itu nggak aneh-aneh?!" tegur Herga cepat. Mendengar anaknya mengatakan pindah sekolah saja sudah membuatnya kesal, apalagi pindahnya di Indonesia.

Senyum lebar di wajah pria itu perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh mimik wajahnya yang masam. Ia mengangguk pasrah setelah mendengar teguran papanya meski baru di awal.

"Kalau kamu mau pindah sekolah Papa masih bisa mentolerir, tapi kalau pindah sekolah ke Indonesia Papa sudah tidak bisa mentolerir-nya. Jerman ke Indonesia itu nggak deket. Biayanya juga mahal!" ucap Herga tegas.

CEO perusahaan gede kok pelit amat, pindahin sekolah anaknya aja nggak mau, batin pria itu. Pengen ngumpat, tapi ia tidak mau dicap sebagai anak durhaka. Apalagi kalau nanti namanya dicoret dari kartu keluarga, kan bahaya.

"Biayanya juga nggak terlalu mahal kan, Pa. Coba deh Papa bandingin pengeluaran Mama buat shopping-shopping sama pengeluaran buat mindahin sekolah aku. Pasti nggak seberapa, kan?" balas pria itu tak mau kalah.

"Mama shopping buat kebutuhan hidupnya,"

"Aku juga sama, buat kebutuhan pendidikanku,"

"Mama minta uang sebulan cuma sekali, kamu berkali-kali,"

"Aku minta uang dikit-dikit, Mama langsung sebukit,"

Oke, Herga diam. Sepandai-pandainya ia berbicara pada rekan bisnisnya, secerdas-cerdasnya ia mengurus bisnisnya, ia akan kalah jika beradu mulut dengan anak semata wayangnya.

Di sisi lain, di lubuk hatinya yang paling dalam, pria itu tertawa puas. Tinggal menunggu saja untuk papanya menanyakan apa nama sekolah yang diinginkannya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang