54 ~ Vierenvijftig

446 33 6
                                        

Banyak gosip beredar bahwa pengantin baru hari ini sudah mulai berangkat ke sekolah. Tapi hanya laki-lakinya saja, karena yang perempuan sudah dikeluarkan karena hamil.

Sebagian dari mereka menunjukkan rasa iri secara terang-terangan. Pasalnya jika siswa lain yang seperti itu, pasti langsung dikeluarkan. Lain halnya dengan Diven, pria itu masih bisa bersekolah karena sekolah ini milik opanya.

Melfa yang sudah mendengar gosip itu dan tahu siapa yang mereka maksud terus mendekam di dalam kelasnya. Dengan berbagai alasan dia menolak ajakan temannya keluar dari kelas.

"Mel, lo nggak kasian apa kalo kita mati gegara kelaperan?" tanya Nesya dengan tangannya yang terus memegang perut.

"Tau nih Melfa! Coba deh dengerin, cacing di perut gue udah pada demo minta makanan," Vanes memajukan perutnya pada Melfa, membuat gadis itu sedikit geli.

"Santai aja, Mel. Nanti kalo ada Diven kita bisa tutupin lo biar nggak liat dia," celetuk Qilla yang berhasil membuat Melfa mematung.

Sebenarnya Melfa tidak bermaksud untuk menghindari Diven. Toh dirinya juga tak masalah lagi pada pria itu. Hanya saja memang dirinya tak mau keluar kelas karena banyak siswa yang menatapnya kasihan.

"Jangan ngawur! Kalo kalian mau makan yaudah tinggal ke kantin. Jangan maksa, inget hak asasi manusia!" Melfa memperingatkan dengan menggoyangkan jari telunjuknya.

"Gayaan lo, Mel," Qilla memutar bola matanya jengah.

"Gue mau baca novel baru yang dibeliin Papa tembok," Melfa menunjukkan sebuah novel barunya. "Sana pergi, jangan gangguin gue!" tangannya mendorong tiga gadis itu.

Jika sudah ada novel bersama dengan Melfa, mereka bertiga tidak ada yang bisa mengganggu lagi. Susah untuk membujuknya karena bagi Melfa novel itu lebih dari apapun.

Ketiga gadis itu sudah pergi, hanya ada Melfa saja yang di kelas bersama dengan novelnya. Suasana hening mendukung dirinya untuk menghayati isi novel.

Selang beberapa saat, Melfa menutup kembali novelnya. Berpikir kembali, bagaimana jika mereka mengira Melfa tidak mau keluar karena Diven sudah berangkat sekolah?

"Nggak bisa dibiarin nih," ujar Melfa dan beranjak dari bangkunya. Dia benar-benar pergi menyusul Qilla, Vanes, dan Nesya karena takut akan dugaannya.

*****

Setelah beberapa hari De Knapste makan di kantin hanya dengan tiga anggota, kini mereka sudah kembali dengan formasi lengkap lagi. Menempati meja yang selalu menjadi tempat andalan mereka.

"Lo kalo tidur gimana, Div? Seranjang sama tuh siluman kodok?" tanya Yoshi yang sudah beberapa hari memendam pertanyaan ini. Akhirnya sekarang dia bisa menanyakan langsung pada orangnya.

"Ya enggak lah, dia beda kamar sama gue. Gue juga nggak mau kali kalo kasur gue ditempatin dia," jawab Diven yang terdengar begitu sadis.

"Kenapa nggak mau? Gitu-gitu juga istri lo," sahut Yosha yang berhasil mengundang tawa kembarannya dan Tian.

Tian ikut menertawakannya. Berarti memang sudah parah nih. Membuat Diven kesal dan malu karena pria itu juga tak menerima fakta bahwa dirinya sudah menikah.

"Bacot lo, Yos!" umpat Diven dengan tatapan tajamnya. "Kalo gue bilang Ria ternyata sodara gue paling lo ka--,"

"APA?!"

Belum sempat Diven menyelesaikan kalimatnya, Yosha lebih dulu berteriak kaget. Bahkan kembarannya juga ikut berteriak, tak percaya dengan ucapan Diven.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang