Langkah kaki Melfa telah membawa gadis itu memasuki ruang kelas XI IPS 2. Suasana kelas yang begitu riuh ramai dengan teman-temannya yang bercanda ria, berlari-larian, dan bergosip membuat suasana hatinya semakin tidak menentu.
Semenjak ia mendapat telfon dari orang itu semalam, semangatnya seperti terkuras habis dan sulit untuk mengembalikannya. Terlebih lagi untuk melewati hari ini di sekolah, pasti ia akan semakin kesal karena tentunya Diven akan terus mengganggunya.
"MELFAAAA!!!"
Melfa refleks menutup telinga dengan kedua tangannya. Teriakan seorang gadis yang sudah dipastikan berasal dari bibir Qilla itu berdengung di telinganya. Bahkan suara riuh ramai kelas XI IPS 2 pun kalah dengan teriakan Qilla.
"Maafin gue, ya? Kemarin gue dipaksa terus sama Diven. Yosha juga malah bantuin Diven maksa gue. Lo kan tau sendiri gue kalau sama Yosha nggak pernah bisa nolak. Sekarang pokoknya gue nyesel deh. Maafin gue, ya, Mel?" cerocos Qilla bagai kicauan burung di pagi hari.
Kedua tangannya memeluk Melfa dengan erat hingga membuat gadis itu sesak nafas. Bahkan teman-teman sekelasnya pun sampai menggelengkan kepala melihat kelakuan Qilla.
"Lepasin gue, Qilla!" Melfa dengan susah payah menjauhkan Qilla darinya. "Sesek tau!"
"Makanya maafin gue. Kalau lo nggak maafin gue....," Qilla menggantungkan kalimatnya. Membuat Melfa menatapnya penasaran.
"Gue bakal peluk lo lagi!" ucap Qilla cepat dengan tangannya yang siap memeluk Melfa lagi. Tak kalah cepat, Melfa berlari menjauh dari gadis itu.
Qilla terus berusaha mengejar Melfa agar dapat memeluk gadis itu. Melfa pun terus berlari menghindarinya. Kesan akhirnya pun mereka jadi seperti anak SD yang berlarian di kelas.
Bukannya apa-apa, hanya saja Qilla itu kalau memeluk tidak tahu batasannya. Bisa-bisa Melfa sesak nafas seperti sebelumnya. Atau bahkan bisa lebih parah dari itu.
"Qilla, udah deh, stop! Kalau lo nggak stop di situ, gue nggak bakal maafin lo, nih!" ancam Melfa dengan tangan kanannya yang maju untuk mencegah Qilla dan tangan kirinya membenahi letak tas ranselnya.
Qilla diam di tempat, menurut dengan perintah Melfa daripada gadis itu benar-benar tak memaafkannya. "Nih, udah berhenti kok. Sekarang lo maafin gue dong!"
"Iya, nanti gue maafin lo, deh. Asalkan lo duduk dulu!" Melfa menunjuk bangku dibelakang Vanes dan Nesya, bangku yang setiap hari ia tempati bersama dengan Qilla.
Qilla mengangguk kecil. Lalu dengan semangat pergi menuju bangkunya dan duduk dengan manis. Membuat Melfa dapat bernafas lega, setidaknya ia tidak perlu berlari-lari lagi.
Dengan langkah kecilnya, Melfa mendekati Qilla yang terus memandangnya. Ia meletakkan tasnya dan duduk di bangkunya dengan bergidik ngeri melihat Qilla.
"Lo inget orang yang waktu itu pernah gue ceritain ke lo, Qil?" tanya Melfa tiba-tiba.
Kedua alis Qilla bertaut, jarinya ia ketukkan di dagu. Mengingat nama orang-orang yang Melfa ceritakan padanya. "Iya inget, tapi nggak semua. Orang yang lo ceritain ke gue kan ada banyak, Mel."
"Ih, ngeselin, deh! Itu yang setahun lalu dia udah pergi dari hidup gue," ucap Melfa frustasi. Terlihat jelas dengan mimik wajahnya yang terlihat kesal.
"Oh, iya gue inget. Kenapa dia?" tanya Qilla penasaran. Dagunya ia topang dengan kedua tangannya. Seperti anak kecil yang siap untuk dibacakan dongeng.
Mudah saja bagi Qilla untuk mengingat cerita itu. Karena Melfa tidak pernah menceritakan masa lalunya padanya, kecuali satu masalah itu.
"Tadi malem dia nelfon gue. Padahal gue udah ganti nomor, kok dia bisa dengan mudahnya dapet nomor gue ya, Qil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...