49 ~ Negenenveertig

342 31 9
                                    

Di ruang tamu rumah keluarga Vandenberg ada Mr. Vandenberg tengah duduk berhadapan dengan Diven dan Aurel. Raut wajah beliau menunjukkan kelelahan dan frustasi atas masalah ini.

Sementara itu, Diven hanya bisa menundukkan kepalanya. Dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan meskipun Diven tak bersalah, percuma dia membela diri. Tak akan ada yang percaya padanya.

"Keluarga kamu di mana?" tanya Mr. Vandenberg tiba-tiba. Perlahan Aurel mendongak, takut melihat Mr. Vandenberg. "D-di Kalimantan, s-saya di sini cuma kos," jawab Aurel terbata.

"Kenapa kamu mau Diven berbuat seperti itu pada diri kamu?"

"Diven memintanya dan saya tidak bisa menolak karena saya mencintai Diven," jawab Aurel. Di sampingnya, Diven berdecih pelan.

Gadis itu benar-benar ratu dongeng. Bahkan saat ada Diven pun dia berani mengada-ada cerita. Diven hanya membiarkan gadis itu, karena dirinya juga belum ada cukup bukti.

"Bagaimana persisnya ini terjadi?"

"Saat itu saya lihat Diven dipukul orang dan pingsan di pinggir jalan, terus saya bawa dia ke kos saya. T-tapi setelah sampai di kos d-dia malah melakukan i-itu," Aurel menangis sesenggukan.

Melihat hal itu Mr. Vandenberg tersenyum miring. Beliau harus bertindak untuk mereka agar masalah segera selesai. Juga mengembalikan nama baik keluarga Vandenberg.

"Minggu depan kalian akan saya nikahkan," ucap Mr. Vandenberg yang berhasil membuat kedua mata Diven terbelalak.

"Opa! Diven belum cukup umur buat nikah!" bantah Diven cepat.

"Sementara hanya nikah siri sampai umur kamu cukup," jawab Mr. Vandenberg dengan raut wajahnya yang tenang.

"Gimana sekolah Diven?!"

"Kamu bisa tetap sekolah atas permintaan Opa," Mr. Vandenberg beranjak berdiri. "Dan kamu, kamu saya keluarkan dari sekolah demi kesehatan janin itu," Mr. Vandenberg menunjuk perut Aurel yang masih rata dan pergi begitu saja.

Diven mengacak rambutnya frustasi. Hubungannya dengan Melfa benar-benar berakhir. Gadis itu pasti akan meninggalkannya. Bahkan untuk sekedar melihat Diven saja sepertinya gadis itu sudah jijik.

Dilihatnya Aurel yang hanya menunduk di sampingnya. Beruntung Aurel perempuan, jika Aurel laki-laki pasti Diven sudah menghajarnya sampai habis. Manusia tak waras, bisa-bisanya membuat masalah yang begitu besar.

*****

Suasana rumah Ray cukup hening. Mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Tak ada yang membuka suara. Mereka hanya diam menemani Melfa yang masih menangis di dalam pelukan Fanny.

Langit sudah berubah menjadi gelap, namun Melfa tak kunjung pulang. Gadis itu tak mau kembali ke rumahnya. Terutama untuk bertemu papanya. Dia sangat takut menghadapi masalah ini.

"Sayang, udah ya nangisnya. Kan Melfa sendiri yang bilang sama Tante kalo Melfa nggak pernah nangis karena Papa tembok nggak suka liatnya," tutur Fanny lembut sembari mengusap punggung Melfa.

"Melfa!"

Suara itu milik Nara, membuat mereka semua yang ada di sana menoleh. Nara datang bersama dengan Raffa yang terlihat sangat khawatir. Segera Nara mengambil alih memeluk anak gadisnya.

"Mama," lirih Melfa dengan sesenggukan. Membuat Nara yang berusaha tenang turut menitikkan air mata. Tak kuasa melihat anaknya yang begitu sedih.

"Iya, sayang. Mama di sini, nangis aja selagi Melfa mau," Nara mengusap rambut panjang Melfa. "Menangislah untuk buang rasa sakit itu, tapi jangan sampai menangis untuk orang yang bahkan lupa kehadiran kamu."

Di tempatnya berdiri, Ray dapat melihat Raffa yang telah mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat serta rahangnya yang mengeras. Raffa akan benar-benar emosi jika menyangkut masalah anaknya.

"Ray, antar Om ke rumah bajingan itu," ucap Raffa tenang namun terdengar sangat mengerikan di telinga orang-orang itu.

Satya yang hafal dengan sifat Raffa pastinya tahu apa yang akan dilakukan oleh Raffa. Dengan cepat Satya memberikan kode gelengan kepala pada Ray agar anaknya itu tak menuruti Raffa.

"Maaf, Om. Ray nggak tau rumah Diven," jawab Ray. Dirinya juga tak mau untuk menghakimi Diven, karena ada suatu hal janggal yang terus menghantui pikirannya.

"Melfa, di mana rumahnya?!" kini Raffa bertanya pada anaknya. Sayangnya Melfa tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab. "Kalau gitu biar Papa sendiri yang cari tau!"

Tanpa basa-basi Raffa langsung bergegas pergi, membuat mereka semua cemas. Apalagi Melfa, memang benar dia kecewa pada Diven, tapi jangan sampai pria itu terluka karena dirinya.

Dalam sekali gerakan Melfa melepas pelukan Nara. Gadis itu berlari dan berlutut tepat di hadapan Raffa. "Papa, Melfa mohon Papa jangan ke sana," ucapnya dengan tangis sesenggukan.

"Jangan apa-apain Diven. Melfa kayak gini emang udah takdir, bukan salah Diven, Pa. Melfa janji nggak akan nangis lagi asalkan Papa biarin Diven," lanjutnya.

Melihat anaknya sampai berlutut di hadapannya, Raffa dibuat semakin marah. Rasanya sangat sakit menyaksikan anaknya rela berlutut demi seorang pria yang telah menyakitinya.

Raffa menghela nafas pelan, kemudian ia berjongkok. Ditatapnya dalam mata Melfa, mencoba mengetahui seberapa sakit yang ditanggung anaknya. Kemudian ia memeluk Melfa erat, membawa ke dalam rengkuhannya.

"Sebenarnya terbuat dari apa hati kamu itu? Bahkan bajingan yang melukai kamu masih kamu bela," ujar Raffa dengan matanya yang berair.

"Berkat Papa dan Mama, Melfa tumbuh dengan hati yang kuat dan baik," ucap Melfa dengan menunjukkan senyum manisnya.

Sangat disayangkan, mereka tak dapat tertipu oleh senyum itu. Mungkin semua orang akan tertipu dan menyebut Melfa baik-baik saja dengan senyum itu. Namun tidak untuk keluarganya, mereka tahu senyum manis itu menyimpan berbagai rasa pahit.

*****

Malam ini De Knapste kembali berkumpul dengan jumlah tiga orang saja. Tidak ada Diven, sang ketua itu sama sekali tak memunculkan dirinya setelah Mr. Vandenberg membawanya pulang. Bahkan Diven tak membalas chat dari mereka.

"Lo berdua percaya nggak sih kalo Diven beneran buntingin Aurel?" tanya Yoshi tiba-tiba di tengah kegiatannya yang asyik memakan keripik kentang.

"Nggak lah, pake tanya lagi! Emang lo nggak hafal Diven orangnya gimana?!" balas Yosha ketus. Seolah-olah apa yang diucapkan Yoshi serba salah.

"Gue kan cuma tanya, anying!" Yoshi melempar keripik kentangnya pada Yosha. "Kalo lo gimana, Yan? Misal bukan Diven yang buntingin Aurel, terus Aurel bunting sama siapa?"

Mendengar ucapan Yoshi, Tian sedikit terperanjat. Aurel hamil dengan siapa? Hal itu yang terus dipertanyakan dalam kepala Tian. Toh dia sangat tahu meskipun Diven nakal tapi tidak pernah sampai kamar.

"Kenapa gue punya firasat masalah ini berkaitan sama Ria juga?" Tian bertanya-tanya pada dirinya sendiri, namun si kembar masih bisa mendengarkannya.

Dengan cepat Yoshi menendang kaki Tian. Menyadarkan Tian untuk membungkam mulutnya karena di sana juga ada Yosha, pria utama yang berhubungan dengan Ria.

"Kenapa?!" ketus Tian yang merasa kesal karena kakinya sakit akibat tendangan Yoshi. Sang tersangka malah menggembungkan pipi kanannya sebagai alternatif untuk menunjuk Yosha.

"Apa hubungannya sama gue? Toh emang bener Ria cuma main-main, biar dia tau sekalian," sahut Tian cuek.

"Maksud lo Ria deketin gue karena ada maksud tertentu?!" tanya Yosha pada akhirnya. Mendesak agar diberi jawaban yang memuaskan.

Yoshi hanya mengangguk kecil, malas sekali jika harus menjelaskan apa yang kemarin mereka perundingkan. Apalagi belum tentu juga hal itu benar.

****

Don't forget to vote and comment!!

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang