Suasana hati yang sedang kacau membuat Melfa terus menggerutu dan mencebikkan bibirnya. Hingga Qilla yang menemaninya harus sabar-sabar mendengarkan semua ocehan gadis itu.
"Kubusnya udah gue benerin aja masih pakai ngancem gue segala. Tuh orang emang kayaknya suka nyiksa murid lain deh," celoteh Melfa sambil mengacung-acungkan jarinya.
"Udahlah, Mel. Lagipula udah lewat kejadiannya. Nggak ada orangnya aja lo ngomel mulu, apalagi tadi ada orangnya. Beuhhh.... Gue yakin sampai besok lo nggak bakal berhenti ngomel!" omel Qilla panjang lebar. Sepertinya gadis itu telah tertular Melfa yang terus membeo sejak tadi.
Di mata Melfa sekarang gadis itu tidak ada bedanya dengannya. Hanya saja dirinya mengomel karena pria menyebalkan itu, sedangkan Qilla mengomel karena dirinya.
"Sumpah tuh cowok beneran nyebelin. Pakai nitip pesen ke temennya kalau gue sekali lagi buat masalah sama dia gue bakal terus berurusan sama dia. Jadi orang songong amat dah," oceh Melfa yang tidak ada habisnya. Semua stok unek-unek untuk pria itu ia keluarkan semuanya.
"Ah! Gue capek dengerin ocehan lo. Udah kek ngocehnya, ntar mulut lo jadi mulut sowang!" protes Qilla sembari menutup kedua telinganya yang sejak tadi terasa berdengung.
"Biarin! Gue ma--,"
Bugh!
Melfa tak melanjutkan kalimatnya saat sebuah bola basket menghantam kepalanya. Tubuhnya sempoyongan dan terhuyung kesana-kemari. Hampir saja ia ambruk jika saja Qilla tak menahannya.
"Lo nggak papa, Mel?" tanya Qilla khawatir. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan karena menahan Melfa yang terus sempoyongan.
"Melfa nggak papa, Melfa kuat," ucap Melfa yang tak sesuai dengan kenyataannya. Tangannya mengelus kepalanya yang berdenyut. Ia tahu sekarang kepalanya telah benjol karena bola sialan itu.
Dengan gayanya yang sok kuat melfa menegakkan tubuhnya. Ia berpegangan pada pundak Qilla dan menggelengkan kepala beberapa kali.
Bumi terasa berputar begitu cepat dan berguling-guling baginya. Ia memaksakan dirinya berjalan dan mengambil bola basket sialan itu. Dengan sekuat tenaga ia melempar bola basket itu ke lapangan.
"Minggat lo! Balik ke tuan lo sana!" Melfa tersenyum senang sembari merapikan rambutnya yang menutupi wajah.
Bugh!
Senyumnya tak bertahan lama saat mengetahui bola basket yang ia lempar mengenai bagian terpenting pria yang sejak tadi menjadi sumber kekesalannya. Mulutnya yang menganga segera ia tutup dengan kedua tangannya.
Para siswi di sekitar lapangan basket yang melihat kejadian itu berteriak histeris. Pria idaman mereka tersiksa dengan seluruh rasa sakit di bagian intinya.
"Klootzak! Calon Diven junior gue terancam!" umpat pria itu sambil tangannya memegang bagian intinya yang terasa ngilu, perih, dan remuk yang menjadi satu. (Klootzak = keparat)
Melfa dan Qilla saling tatap begitu mengetahui pria itu sangat kesakitan. Qilla menggigit kukunya cemas. Masalah besar benar-benar sedang menanti Melfa pikirnya.
"SIAPA YANG BERANI-BERANINYA LEMPAR GUE PAKE BOLA INI?!" teriak pria itu dengan sedikit membungkuk dan menunjuk bola basket di depannya itu. Tentu saja rasa sakitnya belum hilang karena lemparan Melfa yang cukup kuat.
"LO MILIH KELUAR SENDIRI ATAU SEKOLAH INI YANG KELUARIN LO?!"
Jantung Melfa terasa mencelos mendengar kalimat itu. Ia takut jika apa yang diucapkan pria itu benar-benar terjadi. Ia tidak mau mengecewakan kedua orangtuanya dengan dirinya yang di drop out dari SMA BW.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen Fiction[COMPLETED] Ini kisah milik Melfa, gadis polos dengan paras cantik bak bidadari. Dia memang imut, kecil, dan mungil, tapi daya tariknya tak perlu diragukan lagi. Bukan hanya Melfa, ini juga kisah milik Diven, cowok berdarah Indonesia-Belanda yang ny...