45 ~ Vijfenveertig

432 36 12
                                    

Sengaja sore ini De Knapste tidak berada di rumah Tian. Mereka memilih ke rumah Diven karena ada suatu hal yang sangat ingin mereka katakan yang mungkin membutuhkan bantuan Mr. Vandenberg.

"Baru aja gue mau cabut lo bertiga udah dateng. Ngapain ke sini?" tanya Diven yang memang sebelumnya belum tahu akan rencana mereka bertiga.

"Bosen di rumah Tian terus, sekali-kali main ke sini nggak papa lah," sahut Yoshi sembari melepas jaketnya dan duduk di sofa empuk milik Diven.

"Gue yang kenapa-napa," gerutu Diven pelan. Bukannya Diven pelit, tapi pria itu kurang suka main di rumahnya sendiri karena dirinya memang suka keluar rumah.

Diven yang sudah siap pergi lengkap dengan jaket dan kunci motornya pun duduk di dekat Tian. Kunci motornya ia lemparkan ke atas meja.

"Coach Rendy nggak pernah hubungin gue buat latihan. Padahal turnamen sebentar lagi kan?" tanya Diven yang membuat ketiga temannya saling menatap satu sama lain.

Ini yang akan mereka katakan, namun mereka bingung harus memulainya dari mana. Mengingat Diven tidak pernah mau meninggalkan basket dan pria itu sulit sekali mengendalikan emosinya.

"Karena lo udah dikeluarin dari tim basket, Opa yang minta," ucap Tian dengan tenang. Si kembar hanya menundukkan kepala.

Diven mengangguk beberapa kali. "Pasti karena penyakit gue kan?" tanya Diven begitu saja. Jujur, ketiga temannya itu sedikit terluka mendengar pertanyaan Diven.

"Ini demi kesehatan lo, Div. Seharusnya lo istirahat, nggak boleh capek-capek," tutur Yosha pelan. Ah, rasanya ia ingin menangis saja.

"Emang gue lemah kok, dari awal seharusnya gue nggak cocok gabung di tim inti bareng kalian semua yang kuat," ungkap Diven sembari melepas jaketnya.

Gerah sekali rasanya. Bukan karena cuaca yang sangat panas, namun hatinya yang panas karena terluka. Basket, hal yang dapat membuatnya bahagia menjalani hidup namun harus diberhentikan begitu saja.

"Nggak ada yang bilang lo lemah, Div. Kita tau lo kuat, bahkan lo jadi kapten kita. Cuman memang kesehatan lo lebih penting buat kita," ucap Yoshi serius, tak mau Diven salah paham.

"Jangan paksain diri lo buat lakuin hal-hal yang tubuh lo semdiri nggak bisa dukung, Div," ujar Tian sedikit nyelekit. Tak tahan dengan Diven yang terus bersikeras.

Diven beranjak dari duduknya. Pria itu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Tak peduli lagi apa yang akan mereka katakan padanya, hatinya sudah sangat kesal.

Ketiga pria yang duduk di sofa itu saling menatap satu sama lain. Melihat kepergian Diven tanpa sepatah kata pun membuat mereka semakin bingung. Tujuan mereka bukan untuk menyakiti Diven seperti ini.

Tiba-tiba Diven menghentikan langkahnya. Cukup lama ia diam di sana. "Mulai sekarang gue pasrah apa yang Opa lakuin buat gue. Sekarang gue mau tidur," ujar Diven, kemudian ia pergi menghilang di balik pintu kamarnya.

Si kembar kompak menatap Tian, meminta penjelasan pada pria itu. Sayangnya Tian hanya mengedikkan bahunya. Tian sendiri juga bingung Diven benar-benar menerimanya atau sedang marah.

*****

Main play station sambil nyemil makanan memanglah sangat mantap, apalagi saat di luar sedang hujan. Untuk beranjak dari tempat pun bahkan rasanya sangat enggan.

Seperti yang sedang dilakukan oleh Andra dan Aldy sekarang ini. Mereka terus berteriak histeris jika kalah. Sampai sang pemilik kamar tempat mereka bermain itu menahan kesal.

Tiba-tiba tangan Aldy maju untuk menganggu Andra. Bermaksud agar pria itu kalah darinya karena sejak tadi Andra terus mengalahkannya.

"Woy, bangke! Nggak usah curang dong!" seru Andra kesal saat permainan berakhir dan dirinya kalah akibat ulah Aldy.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang