17. HUKUMAN

283 64 6
                                    

Adhis cepat membereskan lembaran fotocopy itu sebelum ada pengendara lewat dan merusak kertas. Tak menghiraukan darah yang sejak tadi menetes dari dengkul. Reval di samping malah jadi penonton melihatnya.

Hingga selesai mengambil satu lembar terakhir. Tubuh Adhis lagi-lagi digendong cowok itu. Namun, kini gendong depan.

"Dah, diem. Gue ga bakal obatin luka lo, karena di sini kewajiban gue cuma nganter dan jemput dengan selamat," celoteh Reval tanpa melihat wajah gadis bername tag A. Dia terus berjalan santai dengan membawa beban 'lagi.' Kali ini tanpa ngos-ngosan.

Adhis yang digendong memilih tidur selagi belum sampai sekolah. Matahari yang menyorot terhalang oleh kepala cowok itu. Membuatnya nyaman untuk menutup mata.

🌚🦍🌚

Adhis kini terduduk di atas bangku panjang samping sekolah yang terhalang pohon besar. Ia terpaksa mengobati luka pada dengkulnya, karena cowok yang menggendong tadi menyuruh untuk segera diobati. Mengatakannya pun sekaligus membawa kotak P3K. Sementara, lembaran fotocopy biar dia yang mengantar.

Padahal Adhis tak mau lukanya bersih begitu saja. Ia ingin melihat darah yang terus menetes itu. Baginya, itu sangat menyenangkan.

"Ngapain lo di sini?"

Suara itu mengalihkan atensi Adhis yang tengah membersihkan luka. Ia mendongak. Ternyata cowok bername tag Elan Saloka.

"Cepet bersihin ruangan lomba." Elan menatap jengah gadis tanpa suara itu.

Adhis tak menghiraukan. Ia kembali fokus membersihkan luka walaupun asal. Dia menepuk-nepuk keras lutut dengan kapas.

"Hei! Lo denger ga, sih?!" Elan berkacak pinggang. Dari tadi dia terus yang kena omel si guru kimia. Padahal bukan kewajibannya, kan?

Adhis bangkit berdiri. Membuang kapas bekas darah ke wajah Elan. Lalu berjalan pergi meninggalkannya. Tanpa membawa kembali kotak P3K yang tadi diambil Reval dari UKS.

Elan melempar kembali kapas itu ke arah punggung gadis tanpa suara yang sudah pergi beberapa langkah darinya.

Sampai di UKS, Adhis langsung mengambil sapu yang berada di belakang pintu. Ia melirik jam dinding sekilas. Menunjukkan pukul 12.04, artinya satu menit lagi bel istirahat kedua selesai. Apa dia harus membolos dua pelajaran lagi? Padahal keluar izin dari sekolah berlaku untuk dua jam. Sedangkan ia dan cowok yang mengantar tadi ke tempat fotocopy sudah lewat batas waktu itu. 

Adhis menghela nafas panjang. Disapunya ruangan lomba tempat bimbingan itu dari pojok.

"Yang bersih."

Suara itu lagi. Siapa lagi kalau bukan Elan?

Adhis terus menyapu setiap sudut ruangan. Sepuluh menit berlalu, lantai sudah selesai di sapu. Kini, tinggal dipel dan setelah itu bisa kembali ke kelas.

Ember dan pel yang terletak di pojok ruangan diambil untuk diisi air juga pembersih lantai.

Balik dari kamar mandi, Adhis masih saja disuguhkan Elan yang duduk di atas meja dengan melipat kedua tangan. Sesekali cowok itu protes padanya yang melakukan pekerjaan dengan lelet. Harus banget diawasin begitu, ya?

Adhis tak mencopot sepatu selagi mengepel. Toh, sepatunya tak pernah kotor sampai menginjak tai ayam. Ia memeras kain pel yang sudah dibasahi lalu mulai menggosok lantai itu mulai dari bagian pojok. Gini-gini ia sering membantu bibi membereskan rumah.

Sepanjang mengepel, Elan terus saja berprotes padanya. Tenaga yang letoy, kurang kering memeras kain pel atau lantai yang belum terkena gosokan.

Apa cowok itu sudah jenius sampe rela ga masuk jam pelajaran hanya demi mengawasi?

Adhis mengusap pelipisnya dengan punggung tangan, saat keringat mulai menetes.

"Buru ngepelnya bisa? Gue harus masuk kelas."

Adhis yang tengah berhenti mengepel, bertopang dengan gagang pel. Memandang jengah Elan. Kalau harus masuk kelas kenapa ngawasin coba?

Detik kemudian Elan melangkah melewatinya dengan berjinjit. Seolah takut lantai yang sudah dipel kotor. Adhis hanya memandang heran.

Elan berbalik, "Bilang tadi gue ngawasin lo kalau guru kimia nanyain." Setelah mengatakan itu Elan langsung berjalan pergi.

Adhis dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya agar bisa kembali ke kelas.

🌚🦍🌚


"Sepeda gue mana woi!" teriak Evan pada cowok urakan yang tadi bersama Adhis. Lalu ia menghampiri, lebih tepatnya menghadang.

"Gue tinggal," kata Reval santai. Dia baru saja memberi lembaran kertas fotocopy'an. "di tempat fotocopy."

"Lah, ngapa lo tinggal? Sepeda kesayangan gue itu. Ah, elah." Evan cemberut.

"Bannya bocor."

"HAH? KO BISA? LO APAIN?!"

"Ga tau." Reval lanjut berjalan. Menepis kasar tangan cowok di depannya yang terlentang.

Baru beberapa langkah, ia berbalik. Lalu dengan entengnya berseru, "Kunci sepeda gue kasih Mba penjaga fotocopy."





"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang