Epilog

147 21 2
                                    

Ini adalah penutup kisah sebelum kasih Si A disaji. Silahkan klik bintang pojok kiri dan nikmati isakkan sosok Randi T_T

Epilog :
"Liar Angin"

..

Lari terburu waktu. Sambaran adrenalin menggetarkan kilat di tubuh kekar. Tidak bisa mengelak lagi, bahwa dia sangat takut kehilangan lagi.

Tapi, naas sekali gerak tubuhnya terhenti berlari. Tingkah biadapnya muncul kembali. Sikap yang tak selaras dengan hati—terlalu dikuasai emosi.

"Aku mau mati tau."

Bibir itu. Dia seharusnya tak membiarkan putri keduanya terluka berkali-kali. Menghancurkan dirinya sendiri. Membiarkan tubuh keduanya terasa mati.

"Lo nggak bakal mati kalau Tuhan nggak ngizinin lo buat mati."

Cakap-cakap di tepi trotoar itu perlahan menerjang pikirannya. Tatapan netra cokelat anak laki-laki itu—jelas terarah padanya—berhasil membuat gerak tubuh berbalik pergi. Meninggalkan sang putri yang lagi-lagi mencoba bunuh diri.

Rasanya terlalu sesak. Seolah sudah mati dalam kehidupan. Sungguh sesak sebab menjadi alasan utama mengapa sang putri ingin mati, mengapa sang putri memilih tinggal pergi menyusul sang istri, mengapa sang putri melakukan hal lebih gila berkali-kali—segalanya sesak karena dirinya sendiri rusak.

Di ruang gelap, tersembunyi di balkon rumah, Randi terisak. Menangis sejadi-jadinya dengan tubuh bergetar hebat.

Dinding kokohnya runtuh sempurna.

Meraup semua rasa ego, keji, kasar, berengsek—diganti sesakit yang mulai menjerit.

Ditekannya tombol perekam suara pada kontak 'My Life'. Seharusnya sudah bertahun-tahun hilang. Dihapus juga dari pikirannya.

"Capek, El, bohongin diri sendiri kalau suamimu ini sok keji. Padahal mau liat senyum anak-anak kita lagi ... bukan malah nyakitin mereka kayak gini.

Maaf jadi seorang ayah yang jahat, maaf  mentalku kembali rusak, maaf terus-terusan buat anak-anak jadi boneka ayahnya sendiri yang sebenernya nggak pantes banget disebut ayah, maaf hancurin raga mereka satu persatu ... maaf keluarga kita jadi kacau .... Jujur aku nggak mau kayak gini, Elia.

Mana, katanya tangan mungilmu mau rengkuh tubuh kekarku saat berada di titik terendah. Mana, katanya selalu ada di sampingku selamanya. Mana, katanya telingamu siap denger ceritaku setiap waktu .... Tapi ... tapi kenapa malah kamu pergi ninggalin aku di sini sendirian."

Tapi, pada akhirnya saat keluar dari sana, air mata surut sempurna. Seolah tidak pernah sekalipun keluar ambisius dari sana. Tubuh kekar itu tetap tegak seperti biasanya. Seolah tidak pernah melemah akibat getaran isakan.

"Om! Elan di bawah sini!"

Tit-tit!!

"AAAAA!"

DUBRAK!

Tubuh mungil itu tertabrak sedan sebelum terlempar jauh beberapa meter dari atas sedan, terhempas lagi semakin jauh oleh tabrakan motor sampai membentur tiang jalan.

Randi tetap terdiam. Melihat jelas kronologis kejadian itu dari atas balkon dengan tatapan yang sulit diartikan. Semilir liar angin tengah malam, tolong sampaikan pesan seorang ayah yang gagal ini pada Tuhan.


Tolong jadikan anak laki-laki itu sebagai pengganti dirinya untuk sang putri kedua, Adhisty Gabriella.




..

Setitik pesan dan kesan : luka bukan jadi alasan untuk seseorang menyakitkan hati manusia lainnya. Luka bukan jadi alasan untuk seseorang 'menjadi jahat'. Karena hanya butuh 'mencari tahu' untuk saling mengerti, kita sama-sama belajar bagaimana caranya mengakui 'diri sendiri lemah'. Dengan itu, kita belajar mencoba 'baik-baik saja tanpa berpura-pura kuat', apalagi menjadi jahat. Karena untuk kesekian kalinya, pada dasarnya semua manusia adalah 'orang baik'.

Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang