26. KEJUTAN SEMESTA

238 53 7
                                    

02 September 2015

"Ini bener ada roh jahat di dalem tubuhnya, Pak."

Ingin rasanya melayangkan sendal atau menempelkan sambel trasi pada mulut sialan dukun itu. Seenak jidat berasumsi begitu.

Kalau tangan juga kaki tidak diborgol, pasti ia sudah melakukan hal terpuji itu.

"Jadi, harus apa biar anaknya ga pengen mati mulu. Penging denger dia ngomong gitu mulu. Belum lagi semua benda tajam di rumah udah digocek sama dia," celetuk Randi.

"Harus mandi kembang 17 rupa, sih. Karena ini udah akut banget rohnya."

"Lah, 17? Yang 'lain' cuma tujuh."

"Ini biar manjur, Pak."

Tau rasanya ingin tertawa keras ditahan? Ya, Adhis tengah merasakannya sekarang.

Harus diperjelas.

"Yang sakit itu bukan roh gue, tapi jiwa gue PEA."


19 Juli 2016

(4 tahun lalu)

Lag-lagi, orang berseragam serba putih itu. Sok-sokan memeriksa, sembarangan mendiagnosa keadaannya. Entah itu penyakit jiwa atau apa yang keluar dari mulut sialannya. Dan, ia benci itu.

Dug!

Satu tinjuan keras dibahu dokter laki-laki itu. Namun, orang itu malah tersenyum tipis menerimanya. Dengan konyol mengelus puncak rambut Adhisty Gabriella. Seolah dianggap sebagai adiknya.

Bener-bener ga waras!

"Mainnya nanti, ya, Dhis. Sini, Kakak periksa dulu. Biar kamu cepet sembuh."

Haha. Cepet sembuh katanya??

Ingin sekali menabok mulut dokter muda itu, tapi ia tahan. Sudah cukup meninju bahu 'Kakak Rafi' si dokter terbaik se-Asia Tenggara katanya.

Adhis memandang dokter itu jengah, berbalik lalu berjalan ke arah pintu. Namun, pintu itu dibuka lebih dulu dari luar. Menampilkan sosok pria berumur empat puluh tahun dengan wajah garang khasnya.

"Kabur lagi? Masih kurang dikurung seminggu tanpa makan?"

Nada tegas dengan wajah garang itu menatap datar anak keduanya yang berumur dua belas tahun. Ditangan ia memegang borgol.

Gadis pipi tirus dengan rambut sebahu itu terkekeh geli tanpa suara. Menyerahkan kedua tangannya suka rela.

Ga sekalian penjarain beneran, ya?

Randi dengan gesit memborgol kedua tangan Adhis. Setelahnya menarik ke brankar kasur rumah sakit. Entah sampai kapan seperti ini, semoga ini dokter terakhir yang bisa menangani anak sampah itu.

Senyuman tipis terus tercetak dibibir dokter Rafi. Adhis menurut untuk diperiksa. Tidak meninju, menabok, atau menendang 'lagi' laki-laki berpakaian serba putih itu.

Randi menemaninya di sana. Menunggu sampai Adhis selesai diperiksa.

Adhis yang notabenenya 'bringas' dengan enteng langsung tiduran di brankar kasur setelah diperiksa, tak sengaja menendang bokong dokter Rafi sampai terjatuh ke lantai.

Matanya menutup, indera pendengaran ditulikan, tubuh tengkurap dengan kedua tangan ditindih bobot tubuh, karena masih diborgol. Tak mau mendengar ocahan ganas dari pria yang katanya seorang papah.

Ia ... ingin mati.

Ia ... ingin luka pergi jauh dari dalam hatinya.

Ia ... ingin dibantu juga untuk menghapus goresan luka yang tersimpan jejak di sana.

Bukan malah dibawa ke psikiater internasional se-Asia Tenggara.

Sungguh indah kejutan semesta kepada Adhisty Gabriella selama enam tahun belakangan ini.

Benar-benar mengharukan.







To Be Continue

Maacih banyak yang masih bertahan sampe part ini^^

Jangan bosen-bosen ya....

Btw alur ini emang berat banget, jadi maklumin ya. Ambis sisi baiknya. Entar ke jawab ko knp Adhis sikapnya gitu. Dan alasan papahnya kenapa tega sama anaknya 'sendiri'.

Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang