38. BELI 1GRATIS 1

176 46 6
                                    

"Cinta tak selalu singgah karena kriteria."

°
°
°


Reval mencekal lengan Adhis yang sudah berbalik dan ingin melangkah. Membalikkan tubuh mungil itu agar menghadapnya. "Balik bareng gue. Kan, supir lo dah gue suruh pulang tadi."

"Eh, napa ini masih dipake name tag-nya. Dah gue bilang, kan. Ga usah dipake lagi."

Adhis agak memundurkan tubuh secara naluri, ketika Reval lebih mendekat. Detik kemudian merendahkan diri untuk mencopot name tag-nya.

"Gue pegang. Besok gue beliin yang baru," kata Reval sambil memasukkan name tag itu ke saku celana abu-abu. Lalu membalikkan lagi tubuh mungil Adhis, dan menariknya ke arah motor dengan memegang ransel gadis itu.

Adhis menghela nafas tertarik pasrah, dengan berjalan mundur.




🌚🌚🌚



"Ngapain nyuruh gue ke sekolah lagi, Bot?" tanya Reval heran. Turun dari motor dan duduk di samping Ompong di kursi panjang kayu depan sekolah. Beberapa meter dari mereka Embot tengah membeli cakwe di sana.

"Lo suka sama Adhis?" tanya Ompong langsung. Membuat Reval tercengang dan diam beberapa saat. Ia yang tak mendengar respon sahabatnya yang satu ini melanjutkan, "Slow, Val. Gue ga bakal bocor ke Embot, apalagi Sindu ko."

"Gue liat beberapa hari lalu lo buru-buru cabut dari kelas langsung nyamperin Adhis, hari ini juga. Full seharian lo ngintilin dia mulu." Ompong terkekeh pelan, "Ga nyangka hati batu lo remuk juga."

Reval menoleh, menghembuskan nafas lega. Pasalnya memang dipersahabatan mereka sudah ada empat pasal; pentingin sahabat, utamain sahabat, prioritasin sahabat, dan ga boleh ada yang jatuh cinta apalagi sampe pacaran. Terlebih lagi, satu-satunya sahabat perempuan; Sindu itu benci sekali sama Adhis.

"Terus tujuan lo ngomong ke gue gini apaan?" tanyanya tak mengerti.

"Support lo," balasnya santai. "Dah coba nembak belom lo?"

Reval menggeleng seadanya.

"Yaelah ... lemot amat. Gercep dong." Embot mengambil cakwenya lagi yang ditaruh di samping. Lalu melahap lagi.

Reval melengos pelan, tak menghiraukan ucapan Ompong. "Gue heran, kenapa bisa suka sama Adhis. Kriteria aja bukan--"

Ucapan Reval terpotong oleh suara gombal Embot agak berseru pada adik kelas yang membeli cakwe juga. Kedua menoleh kompak.

"Ikan kikil makan tomatt, ailapyuh somatt."

Ompong kembali memandang ketua geng itu lekat. Keduanya sama-sama terdiam. Reval jadi menggeleng pelan tau apa maksud tatapan cowok itu.

"Ih, cakep juga itu buat gombal, Val."

"Enggak! Ga modal amat gombalannya nyontek."



🌚🌚🌚




Evan terus memandang lekat gadis di depannya yang tengah fokus melahap nasi ayamnya.

Selama bersekolah di Atlanta, terlebih bertemu dengan sahabat SMP Deris, ia sadar akan sesuatu. Gadis yang disukai ternyata jadi orang berbeda jika bersama Adhis.

Gadis itu ... lebih cerewet dan ceria. Lebih mengeluarkan aura manis yang membuat orang-orang merasakan hal positif dalam dirinya.

Kepribadiannya jadi lebih enjoy dan bahagia.

Padahal, Deris yang ia kenal kepribadiannya itu pendiam kalau tidak diajak ngobrol. Hanya membalas senyuman tanpa senyum lebih dulu. Bahkan jarang berbicara panjang lebar tanpa diminta, apalagi bercerita abrsurd seperti apa yang gadis itu sampaikan pada Adhis.

"Ris," panggilnya. Deris mendongak sambil mengunyah. Ia pun melanjutkan dengan menaruh gelas teh manis di meja, "Sadar sifat lo agak berubah ga kalau depan Adhis?"

Deris terkejut, Evan sadar itu. Ia menelan gumpalan nasinya sebelum menjawab, "Hm, sadar."

Evan tersenyum tipis, "Boleh gue tau alesannya?"

"Gue tuh suka tau sifat lo yang ini, lebih ceria," lanjutnya. Menopang dagu menunggu jawaban Deris.

"Alesannya cuma satu, gue pengen Adhis ngerasa ... ditemenin," jawabnya jujur. Seketika teringat SMP dulu. Bagaimana gadis itu selalu saja 'dibedakan' bahkan orang-orang enggan mendekatinya. Walaupun tak ada yang bully, sifat acuh orang membuat Adhis selalu 'sendiri'.

"Dengan cara jadi orang lain?"

"Ih, bukan gitu. Kan, lo tau Adhis ... ga pernah ngomong. Ga tau ... bisu, atau emang pendiem. Jadi, gue berusaha buat banyak cerita, walaupun ga digubris. Berusaha terus ceria, biar dia nyaman deket gue. Berusaha selalu ada, walaupun orang jauhin. Sampe sekarang aja ... Adhis masih ga terbuka sama gue," akunya. Lalu meminum teh manis yang belum sempat diminum.

Evan mengangguk. Terkekeh pelan sebelum menjawab, "Lo hebat, Ris."

Deris tertegun, membalas tatapan Evan yang sejak tadi dihindari. Menunggu 'sahabatnya' itu melanjutkan.

"Disaat orang-orang ngejauh, lo ngedeket. Dan, dari sikap lo itu juga bawa aura positif buat Adhis ataupun buat lo. Dari situ, lo ga takut dijauhin orang karena jadi temennya," jelas Evan. Menepuk puncak kepala Deris sesaat.

Deris membelalak. Terdiam beberapa saat, lalu menurunkan lengan Evan pelan dari kepalanya. Membuat cowok berlesung pipi itu tersenyum miris.

"Lo juga hebat. Ga pernah absen beliin gue permen caca." Ia mencoba nyengir. Lalu menunduk lanjut makan. Menghindari tatapan teduh cowok itu.

"Yee, dasar pecinta gratisan," ucapnya mencairkan suasana. Meneguk kembali teh manisnya.



🌚🌚🌚



Adhis duduk di pengkolan jalan blok Sindang Sari sore itu. Kembali menggambar absurd dalam notebooknya. Sudah tiga Minggu ini ia tak melakukan, karena sibuk belajar untuk olimpiade Atlanta seminggu lagi dan olimpiade kimia usai ulangan semester.

Walaupun masih lama ... si bossy itu tak bisa dibantah.

Hem, dasar iwak panjelan.

Sudah dua hari sekali harus belajar bareng. Ga pernah absen ngeliat muka burung Elan bawaannya pengen nampol.

Kan, keselnya nambah.

Adhis menghela nafas. Biasanya hanya sehalaman ia menggambar absurd, hari ini sampai dua lembar.

Menutup notebook setelah selesai. Perasaan lega seperti biasa sedikit membuatnya tenang. Ia memandang ke arah depan, ada gerobak pedagang ketoprak yang terkenal laris di sini. Namun, Adhis belum pernah mencobanya.

Mau beli, tapi banyak orang berkerumun.

Adhis benci ada di tengah orang banyak.

"Nih."

Adhis mendongak, tatapannya tanpa ekspresi seperti biasa. Salah satu orang yang membuatnya kesal menyodorkan satu es krim strawberry.

Tanpa dipersilahkan, burung Elan itu duduk di sampingnya. Ia mengalihkan wajah, memilih memandang ke arah lain.

"Cukup hidup lo aja yang pait, muka lo jangan. Tambah sepet diliat," kata Elan santai. Tangan kiri membawa es krim coklatnya. Sementara tangan kanan menyodorkan kembali satu es krim strawberry ke arah Adhis. "Nih, biar ada manis-manisnya hidup lo."

Kali ini Adhis menatap es krim yang dibawa Elan. Haus juga sejak tadi berjalan dari rumah dan menggambar. Ia mengambil es krim strawberry itu. Hendak membuka namun sebuah suara sialan membuat kekesalannya kembali.

"Ini lagi promo, beli satu gratis satu. Jadi, ya, buat lo aja dari pada mubazir."

















•To Be Continue•

Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang