60. Tentang Sejati

167 27 0
                                        

"G-gue benci mereka, Van ... benci."

Deris terisak-isak, rasa kesal, marah, dan benci dalam dadanya bergejolak. Ia mengangkat wajah dengan air mata mulai menetes menyelusuri pipi.

"Gue sakit. Sa-kit Van, tiap orang lain jelek-jelekin dia. Gue benci, ben-ci banget tiap gue lewat di koridor ada aja yang julid sama dia, bahkan gak di sekolah pun—rasanya gue mau bilang ke mereka-mereka, bahwa yang diomongin mereka itu juga 'manusia baik'. Manusia yang gak sadar udah kelewat ba-ik malah, kelewat baik yang dengan bodohnya lempar celurit— yang entah di dapet darimana itu, tepat sasaran kena punggung si bajingan ... bajingan yang ngelecehin gue."

Evan sukses terperanjat atas pengakuan itu.

"Sampe bajingan itu meninggal, dan dia secara gak langsung ngeiyain jadi 'si pembunuh' ... tanpa kasih tahu alesan dibalik kejadian itu— alesan yang gak bisa gue speak-up juga ke polisi."

Evan tak tahan, langsung menarik Deris dalam pelukan. Ia ikut sakit mendengar kenyataan yang baru dia tahu itu.

"Gue ... pecundang yang sembunyi dalam kata sahabat Van," lirih Deris tak tahan. Membalas pelukan Evan, "t-tapi ... satu hal yang harus lo tahu. Gue ... tulus sama dia bukan karena ngerasa bersalah, bukan karena ngerasa punya hutang budi, tapi gue ... tulus juga ke dia. Tulus mau ngelurusin dia saat salah, seneng ikut campur masalah dia, seneng cerita gak penting ke dia walau dicuekin ... soalnya ... gue ... mau jadi sahabat terbaik dia Van."

Evan jelas masih mengingat pengakuan pahit Deris malam tahun baru itu. Bagaimana gadis itu sampai terisak-isak, tak bisa berhenti meneteskan air mata—  demi apapun itu adalah sisi terlemah Deris Maharis yang baru ia lihat.

Dan kejadian tadi— seharusnya wajar, tapi ia terkejut Deris melakukan itu.

"Gara-gara lo gue hampir mati, Dhis. Hampir mati."

Deris menatap Adhis menyala-nyala. Bando putih yang patah itu dilempar ke wajah Adhis.

"Nyesel gue buang waktu buat orang bisu kayak lo," tukas Deris. "mulai detik ini gue bukan sahabat lo, dan jangan pernah ngirim chat gak jelas atau libatin gue dari masalah-masalah kelam lo itu."

Deris mendorong Adhis sampai terjatuh. "Orang gak tau diri kayak lo gak pantes buat dibelain."

Gadis itu melakukannya pasti hanya karena ... marah.

... Marah karena sahabatnya tak mempedulikan balik di tengah rasa takut di gang malam itu.

Pasti begitu. Dan Evan yakin itu.



🌝🌝🌝



Elan tak begitu peka akan ekspresi, bahasa tubuh, dan tindakan manusia. Serta bagaimana cara untuk meresponnya.

Tapi seharusnya, Elan sudah belajar baik dari kesalahan dulu, bahwa selalu ada alasan dibalik setiap tindakan.

Dilihat dari sisi wajah Deris yang semarah itu pada Adhis, sudut mata terpancar dendam —atau takut?—, cara bicaranya dengan intonasi kelewat jahat dikeluarkan,  tindakan fisik seperti tadi ...  seperti melampiaskan ketakutan yang menyala-nyala.

Segalanya seperti benang kusut. Sulit untuk dilerai, yang sebenarnya mudah untuk diselesaikan.

Elan melepas kartu panitia, menaruhnya dalam saku celana. Pamit dulu pada Fani untuk menggantikan tugasnya sebelum beranjak.

Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang