Pada nyatanya, sekalipun pernyataan cinta itu berujung penolakan. Letupan perasaan yang sulit dijelaskan itu setidaknya melegakan.
—Reval Cartizo"Dia ... nangis??"
Masih terkejut, entah mengapa. Padahal itu wajar saja kalau manusia menangis, tapi kenapa kalau Adhis yang nangis rasanya a ... neh??
Hendak melangkah mendekat, Elan mengurungkan niatnya. "Dua menit, biarin Adhis nangis?"
Berusaha menunggu, karena mungkin gadis itu butuh meletupkan perasaannya yang buat sesak? Namun, isakan tangis itu semakin terdengar jelas dan mengilukan Elan.
Ah, lebih tepatnya 'tak tega'.
"Hei." Akhirnya ia memanggil juga. Namun, masih berjarak dua meter dari Adhis.
Mendengar suara itu Adhis langsung berhenti menangis. Matanya merah padam begitu juga hidung. Mengusap kasar air mata, ia berbalik. Cowok itu melangkah mendekat, tanpa kata merangkul dan membawa pergi entah kemana.
Pasrah saja. Toh, itu yang dilakukannya enam tahun belakangan ini.
Di belakang sana, satu dari dua sejoli itu yang tengah berjalan menyemili usus goreng melihat mereka dengan tatapan teduh.
Melihat sahabatnya berhenti berjalan, Ompong ikut berhenti. "Napa lo, Val? Alergi?" tanyanya heran masih menguyah usus goreng. Padahal Reval itu tak alergi usus.
"Heem, liat dia sama yang lain."
"H-hah?"
Ditempatnya, Adhis masih dirangkul Elan. Cowok itu membawanya ke ruang bimbingan OSK.
Sepi, hanya ada dirinya dan Elan.
"Duduk," pinta Elan. Melihat gadis itu menurutinya, kemudian ia berjalan ke arah meja guru untuk mengambil satu lembar kertas berikut pena.
"Tulis satu kata yang lo rasain," katanya sambil memberikan yang tadi diambil lalu menarik kursi di depan Adhis.
Adhis masih menurut saja, mengambil pena itu juga selembar kertas kosongnya.
Males, jengkel, jengah, marah, bingung juga pusing sudah ditulis. Hendak dirobek seperti apa yang Elan pinta, tapi jadi berhenti saat cowok itu merebut kertasnya.
"Kurang," kata Elan lalu juga merebut pena yang dipegang Adhis kemudian menulis kata 'takut'.
Adhis menatap tepat mata Elan.
"Ngaku aja," kata cowok itu. "Lengkap, kan? Robek terus gulung cepet."
Baru memegang selembar kertas itu, Elan merebutnya lebih dulu.
"Gue yang robek sama gulung, lo niup balon aja," pinta Elan mengambil selembar kertas lalu memberikannya dua balon udara warna biru dan hijau. Entah dimana cowok itu dapatkan.
Sungguh baik sekali Elan Saloka ini, ya?!
"Biar pipi lo berdaging dikit," lanjut Elan di tengah merobek dan menggulung kertas.
Sempet-sempetnya, ya?! Mana pujiannya itu loh sungguh ah mantap, kan?!
Sekali lagi, Adhis yang baru memegang balon, Elan lebih dulu memegangnya. Apa lagi ini?!!
"Entar niupnya, gue belum selesai robek sama gulung."
O ... ke. Harus ekstra sabar, Dhis. Kelakuan bringas cukup Reval yang kena.
🌚🌚🌚
Balon selesai diisi gulungan kertas juga ditiup. Tepat saat bel istirahat berbunyi.
Elan menariknya ke arah jendela ruangan yang terbuka. Terlihatlah para murid mengerumuni lapangan, karena ada Reval cs di sana. Ruang Bimbingan ini terletak di lantai dua gedung utama membuat mereka bisa melihat luas bagian dalam Atlanta.
Membawa balon biru, ia merasakan perasaannya sedikit lebih lega, tapi detik kemudian dibuat kembali jengkel sampai ke ubun-ubun saat Elan menyodorkan tusuk gigi.
Maksudnya apaan hah?! Dibledorin padahal udah capek niup segede gaban gitu?! Oh, kepalanya sendiri kali, ya, minta dibledorin biar gak ngebossy mulu??
"Letusin," katanya sambil ikut memegang balon biru yang dipegangnya, "letusin biar rasa yang lo tulis itu gak nguasain diri lo sendiri."
"Kontrol emosi, lakuin sesuatu pikir jangka panjangnya, karena perbaiki rasa nyesel itu gak sepenuhnya sempurna," lanjut Elan masih menatap Adhis tepat. Namun, jadi termenung sendiri dengan ucapannya.
Ia beralih menatap bawah jendela. Batinnya melanjutkan, "Gak sepenuhnya sempurna, bekas luka itu pasti ada."
Adhis tertegun seakan tertampar, ia hampir mangap, kalau saja cowok itu tak merebut tusuk giginya dan meletuskan balon seenak jidat.
Bugh!
Bukan bunyi balon meletus tentu saja, Adhis yang meninju berkali-kali pundak Elan keras, karena tak bisa menahannya lagi.
"Kurang," kata cowok itu enteng, saat Adhis berhenti meninju. Adhis membuang muka.
Balon hijau yang Elan taruh di bawah kaki mereka Adhis ambil, mengarahkan ke wajah cowok itu dan menekan-nekannya kuat sampai bunyi letusan terdengar sangat keras.
Cowok itu spontan memejamkan mata.
"Eh, tapi kok malah senyum tuh orang!" batin Adhis heran, masih meninju.
Tak cukup sampai disitu, ia menginjak sepatu cowok itu dengan kedua kakinya.
"Heh! Sepatu baru gue cuci, Dhis!"
Bodo amat.
Ia berbalik, ingin sekali berbisik tepat di samping telinga cowok itu begini 'Itu baru letusan rasa yang sebenernya!' namun tak bisa.
"Eh, Dhis! Heh! Woi ah!"
Adhis berhenti melangkah, tapi tak berbalik. Ingin apa lagi itu cowok?!
"Kemaren kemana?"
Eh??!
•To Be Continue•
KAMU SEDANG MEMBACA
Si 'A'
Teen Fiction-Dia yang tak bersuara, penuh teka dalam lara- Berikut daftar keanehannya itu : 1. Notebook, yang isinya gambar liar adalah harta karunnya. 2. Rumput belakang sekolah, yang dikunjungi saat bel istirahat adalah surga dunianya. 3. Perkedel kentang, ya...