63. Istimewanya Manusia Lidi

230 20 0
                                        


Adhis yakin dirinya sudah bertambah sinting.

Dari selera humor jadi begitu rendah. Sampai akhlak bertambah minusterlalu banyak tingkah.

Lebih aneh, dia jadi mudah bereaksi. Bahkan mudah berekspresi.

"Izin bawa keluar Adhis, Om."

Dari celetukan izin sok ramah itu pun, dia bisa-bisanya tertawa lepas —demi apapun sinting.

Kok bisa humornya serendah itu???!!

Ditambah papa yang tak mengubris —bahkan meninggalkan cowok itu— otot diafragmanya semakin bertambah sakit karena lelahnya tertawa.

Adhis melipat bibirnya —menahan tawa— ketika cowok itu berbalik menghadapnya. Dan sialan langsung mendekat lalu merangkul...

"Gue suka cara lo ketawa, tapi yang sekarang dilarang."

...sangat biadap, tangan sialan itu sengaja menutupi wajahnya. Agar dia berhenti tertawa.

Dia memberontak, tapi sial tubuhnya semakin menempel pada dada tegap Elan. Sintingnya, dia justru menikmati aroma khas cowok ini.

"Gue analisis lo mulai candu sama gue."

Adhis menggigit ganas lengan Elan. Langsung menjauh dari cowok sinting itu.

Kira-kira bossy itu perlu apresiasi ditendang ke planet Mars atau ditebas menjadi partikel-partikel debu?

"Disty! Nggak mau imbalan?"

Adhis berhenti melangkah. Cowok itu benar-benar sialan memainkan kartu AS-nya.

"Yang ini dijamin lo jauh lebih suka. Yakin nggak mau?"

Adhis kalah. Hanya karena ingin kembali merasakan bagaimana mendapat hadiah, dia jadi lemah.

Apa karena ... tidak ada yang memberinya apresiasi? Karena usahanya baru kali ini dihargai.

Akhirnya dia berbalik membuat cowok itu mengulas senyum senang —beribu-ribu sialan. Lalu mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir samping makam.

Walau gedek setengah mati, Adhis akui cowok ini selalu bisa membuatnya kembali 'menjadi manusia'.

Apapun reaksinya, cowok ini menanggapinya sebagai hal yang pantas. Bukan sebagai tindakan bringas.




🌝🌝🌝




Kali ini Adhis tidak bisa menahan ekspresi berlebihannya.

Dia terlalu senang —sampai pipinya timbul rona merah muda.

Ruangan yang tadinya tidak layak. sekarang menjadi begitu berkelas. Lukisan-lukisan liar miliknya kini ditata rapi, dihias jauh lebih estetika, disorot lampu seperti di pameran seni yang diimpikan —demi apapun Adhis benar-benar suka.

"Soal lukisan-lukisan lo di gudang rumah, maaf gue alihin ke sini tanpa izin." Elan mengambilkannya kursi dan secangkir teh hijau. "Tapi gue udah izin ke kakak lo."

Adhis tak mempermasalahkan —karena biasanya memang selalu dibuang papa, dia kira lukisan-lukisan terakhirnya juga begitu, tapi ternyata tidak.

Dia menyeruput teh sembari memandang lamat tiap sisi ruangan yang dipajang lukisan-lukisannya. Tak menyangka rumah kosong belakang rumahnya ini —yang biasa iseng dikunjungi hanya untuk berdiam diri— kini benar-benar mengagumkan.

Si 'A'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang