CHAPTER 42

34 13 3
                                    


"Jisoo-ya!"

Panggilan itu tidak Jisoo indahkan, ia terus berlari tanpa memedulikan tatapan orang lain yang melihatnya dan berpapasan dengannya. Tak jarang ia menabrak beberapa orang karena tidak hati-hati dan mendapat banyak umpatan sebanyak ia menabrak mereka.

"Jisoo-ya!" Lagi, suara itu membuat Jisoo semakin mempercepat laju larinya, namun harus tersungkur karena tersandung batu. Akan sedikit sulit untuk ia bangun karena kakinya terkilir, tapi ia memilih untuk melanjutkan langkahnya daripada ia harus-

Terlambat. Tangan besar itu sudah meraih lengannya dan napas terengah-engah yang terdengar jelas.

"Tunggu! Kita ... harus bicara ...." ujarnya. Ya, percuma juga ia harus menghindar seperti ini, toh ia akan tetap bertemu dengannya tak peduli kapan waktunya. Terlebih, Jisoo adalah orang pertama yang menemuinya di taman bermain waktu itu. Jadi, taka da alasan untuknya melarikan diri. Bodoh.

Yang lebih mengejutkan lagi ; Jisoo mencium aroma yang jelas-jelas menjawab pertanyaan seharian ini. Tatapannya tertuju pada laki-laki yang menyandang status ayah biologis-nya meskipun wajahnya tak menunjukkan jika dia memiliki putri sebesar ini.

Jisoo menyerah, ia tak akan lari lagi. Jadi, "Apa yang ingin kau bicarakan?"

$$$$

Keduanya berada di tepi sungai Han, duduk diantara banyak orang yang menghabiskan waktu mereka di sana. Ayahnya tahu bagaimana cara agar Jisoo tidak melarikan diri seenaknya.

"Bagaimana kabarmu?" tanya ayah Jisoo.

"Apa kau baru saja menemukannya di kamus?" Balasan dari Jisoo yang cukup untuk menohok sang ayah. Ada beberapa detik jeda di sana, suasana yang sangat kaku untuk hubungan ayah-anak. Tapi Jisoo memiliki alasan untuk bersikap demikian.

"Ayah terlambat bukan?" Wajahnya tertunduk, terlihat kusut dan kacau. Namun Jisoo tak tersetuh untuk penampilan yang seperti itu.

Perempuan itu masih terdiam, apakah ia memberikan waktu untuk ayahnya mengatakan semuanya? Atau ia hanya tak ingin menjawab pertanyaanya?

"Ayah tahu tidak ada gunanya meminta maaf padamu ... tapi ayah menyesal," ungkapnya. Menyesal? Menyesal? "Ayah menyesal sudah meninggalkan kalian dulu ...."

Penyesalan? Yang harusnya bisa kau lakukan dulu saat Eomma masih bisa memakimu, harusnya bisa kau lakukan saat Eomma bisa memukulmu dengan keras dan menamparmu hingga bibirmu berdarah!

Tapi tidak berhasil Jisoo keluarkan, hanya helaan napas panjang dan kepalan tangan yang terasa mencengkeram telapak tangannya.

"Kenapa mengatakannya padaku?" tanya Jisoo. Suasana malam semakin menggigit dan Jisoo tak bisa meninggalkan tempat ini lebih cepat.

"Karena ayah tak siap untuk mengatakannya pada ibumu-"

"Kalau begitu, jangan pernah menemuiku jika belum mengatakannya pada Eomma," Jisoo beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ayahnya yang tak juga menahannya seperti tadi. Masih dengan bahunya yang lesu dan wajah kusutnya. Tak ada percakapan lain selain perkataan maaf yang tak diterima oleh Jisoo. Perempuan itu pun tak bisa mengatakan banyak hal karena tak bisa keluar dari tenggorokannya.

~Sesakit hatiku yang tak bisa membalas ucapanmu, tapi aku lebih merasakan sakit hati saat kau tak bisa mengatakannya pada orang yang paling mencintaimu. Lebih dari apapun, namun kau membalasnya dengan luka yang tak akan pernah sampuh dengan sempurna.~

-Jisoo-

$$$$

Hanbin berjalan dengan cepat menuju rumah Jisoo, menerjang anak tangga yang kini terasa seperti trotoar baginya. Panggilannya dengan Jisoo yang tiba-tiba terputus membuat Hanbin khawatir bukan main. Apa ada sesuatu yang terjadi? Itulah yang ia pikirkan saat ini. Dan ia harus mamastikannya sendiri-

JUMP (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang