CHAPTER 39

37 14 0
                                    


Ketiga muda mudi itu semakin dekat seiring kebersamaan mereka setiap hari. Rudy yang entah bagaimana ceritanya tak kunjung pulang ke rumahnya dan ia memutsukan untuk tinggal bersama dengan Jichu hingga ia mendapat tempat tinggal baru. Dan Jendeuki yang sering mengundang mereka untuk makan atau menghabiskan waktu bersama di tenda 'legendaris' mereka.

Seperti hari ini, sembari menanti senja yang menakjubkan dari tempat yang Rudy temukan, ketiganya menikmati kimbab yang dibuat oleh Jendeuki. Meskipun ia seorang putri bangsawan, namun ia tak segan untuk membuatkan makanan kepada kedua sahabatnya.

"Wah! Ini enak sekali Jen! Bagaimana kau membuatnya? Rumput laut kering ini sangat mahal 'kan?" tanya Jichu yang begitu lahap memakan kimbab yang bahkan tidak ia potong terlebih dahulu. Beberapa saus belepotan di mulutnya dan membuat Rudy sedikit risih melihatnya hingga ia memberikan kain lap untuk Jichu.

"Tenang saja, aku mendapatkan ini dari seseorang, dia membawa banyak rumput laut dan aku bisa membuatkan kalian lebih banyak kimbab. Bagaimana kalau kita memacing ikan? Kau kan pandai memancing Jichu-ya!"

Semua orang menoleh ke arah Jichu termasuk Rudy. Tatapan mereka yang seolah membuat Jichu tidak enak untuk menolaknya. Meskipun yah ... ia cukup mahir dalam memancing.

Helaan napas itu terdengar pasrah, "Hei! Kau Rudy! Bagaimana kalau kau saja yang memancing? Kau 'kan harus membayar biaya tempat tinggal, setidaknya dengan membantuku jika kau tidak punya uang." Kerlingan mata yang terlihat sangat bersinar tepat saat senja mulai tampak menakjubkan, namun siapapun tahu kerlingan itu bukan tanpa maksud apa-apa.

"Kau benar-benar licik."

Pemandangan di depannya kini benar-benat di luar ekspektasi Jennie. Berbeda sekali dengan gaya hidup Bobby yang terbilang mewah di Seoul apalagi apartemennya. Di sini, di rumah milik neneknya benar-benar sederhana. Rumah bergaya lama itu menyambut kedatangan Jennie dan Bobby. Dapur dan sebagian besar kegiatan sehari-hari yang di lakukan di halaman depan rumah. Bahkan tungku jaman dahulu masih tetap di gunakan dengan baik, terbukti saat Jennie mendapati bara api yang masih menyala dan aroma kayu bakar yang khas.

Tapi ... di mana nenek?

Bobby mempersilahkan Jennie untuk duduk di bangku kayu terlebih dahulu sementara ia mencari neneknya di dalam rumah. Suasana seperti ini mengingatkan Jennie dengan rumah orang tuanya di kampung. Ia merindukan mereka.

Senyumnya mengembang saat mendengar suara Bobby yang merajuk kepada neneknya yang memarahinya karena mengganggunya yang sedang berada di kamar mandi. Dan tak lama kemudian terdengar suara benda di lempar dan teriakan Bobby yang sukses membuat Jennie tertawa.

"Apa yang kau lakukan sampai membuat nenekmu marah?" tanya Jennie ketika mendapati Bobby keluar dengan wajah tertekuk kesal.

"Ini yang selalu aku dapatkan setiap kali aku datang kemari. Padahal aku hanya menyapanya dan ia sedang berada di kamar mandi," jawab Bobby sembari mengelus kepalanya yang mungkin tertimpuk sesuatu.

"Nenekmu melemparimu dengan gayung?" tebak Jennie dan-

"Tepat sekali! Gayung kamar mandi lebih berharga dibanding cucunya," Bobby menggerutu. Memang terlihat sedikit ruam merah pada ujung keningnya, pasti rasanya sakit.

"Kemarilah," perintah Jennie agar Bobby duduk di sebelahnya dan laki-laki itu langsung menurut.

Jennie membuka tas miliknya dan mengeluarkan sebuah salep dan mengoleskannya pada luka Bobby dengan hati-hati. Sentuhan lembut jemarinya membuat dada Bobby berdesir, seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Meski hanya perlakuan sederhana yang Jennie berikan, namun Bobby merasa ini sangat berharga. Tentu saja jika tidak ada suara teriakan dari dalam rumah yang membuat keduanya salah tingkah secara tidak elit.

JUMP (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang