CHAPTER 58

40 13 0
                                    


"Apa? Kau mau pergi?" Pertanyaan yang tak bisa Jichu pastikan keyakinannya. Laki-laki itu ingin pergi? Tapi kenapa? Pertanyaan itu tak bisa ia utarakan dengan leluasa lewat mulutnya. Hanya bisa terucap dalam hatinya.

Rudy meras aberat untuk menatap mata yang bersinar itu, meski ini terlihat meredup setelah apa yang ia ucapkan barusan. Menatap tanah yang ia pijaki lebih dipilihnya saat ini. Namun tetap saja, suara gadis itu begitu jelas menusuk ke dalam relung jantungnya.

"Rudy...." Suara Jichu begitu jernih dan candu, namun mengapa Rudy tak bisa mengangkat kepalanya saat ini?

"Maaf, tapi aku benar-benar harus pergi." Ia menjawabnya tanpa mengatakan alasan yang sebenarnya. Itukah balasan atas pertolongan yang sudah Jichu berikan? Ia hanya membalasnya dengan permintaan maaf?

"... dan terimakasih karena sudah menolongku. Aku akan membalasnya suatu saat nanti." Akhirnya ia mengatakannya meskipun Jichu bukan mengharapkan ucapan 'terimakasih' itu. Ia ingin lebih dari kata 'terimakasih', tapi rasanya begitu berat seperti ia yang harus berjuang untuk memanjat pohon kelapa demi mendapatkan satu buah kelapa yang segar. Rudy sama halnya dengan kelapa itu yang tak mungkin Jichu gapai karena ia tak pintar memanjat.

Sepertinya, memang ia harus melepaskan laki-laki itu tanpa tahu alasan yang sebenarnya karena Rudy enggan mengatakannya. Ia punya hak apa sampai harus tahu semua tentang Rudy. Hanya seorang yang memeberikan tumpangan di gubugnya dan ia meminta balasan? Kalau seperti itu, harusnya dari awal ia pastikan apa imbalannya.

"Kalau begitu ... hati-hati," pungkas Jichu yang sudah tak mengharapkan apapun lagi. Ia hanya akan mengantar Rudy sampai persimpangan jalan. Setelah itu, ia hanya bisa menatap punggung lebar itu semakin menjauh dan-

Grep!

Laki-laki itu belum melakukannya, ia berbalik dan memeluk erat Jichu yang kini menunjukkan wajah terkejutnya.

"Tunggu aku, aku akan kembali." Ucapan yang penuh dengan makna dan pengharapan bagi Jichu. Seulas senyum menghiasi wajah cantiknya.

"Kau yakin baik-baik saja?" tanya Hanbin untuk ke-sekian kalinya kepada Jisoo di mana sepanjang perjalanan ia terus membungkam mulutnya –seolah mereka tengah bertengkar. Hanbin juga tak bisa banyak bicara karena sebanyak apapun ia berceloteh, tak ada respon sama sekali dari Jisoo. Perempuan itu memilih untuk melihat keluar jendela, melihat lampu jalan yang terang menyala menghibur dirinya.

Perlahan, Hanbin menggenggam tangan Jisoo dan sukses membuat perempuan itu menolehkan kepalanya. Mata mereka bertemu dan jangan ditanyakan lagi siapa yang pertama kali luluh dengan tatapan itu.

"Kenapa kau selalu melakukan itu?" Jisoo berbicara tentang tatapan lembut Hanbin setiap kali percakapan diantara mereka tidak berjalan lancar.

"Karena hanya ini yang membuatmu merespon. Jisoo-ya? Katakan padaku apa yang terjadi antara kau dengan Seungyoon? Dia tidak menyakitimu 'kan? Pengeculian untuk masa lalumu yang tak ingin kucaritahu," jelas Hanbin. Terdapat sedikit tawa yang keluar dari mulut Jisoo sebelum ekspresi itu kembali lagi.

"Harusnya kau tidak perlu datang, aku bisa mengurusnya sendiri," jawab Jisoo.

"Kenapa?"

Terdapat jeda beberapa detik –seperti timer lampu merah yang tersisa 5 detik lagi sebelum berubah warna menjadi hijau.

"Aku ... aku-"

"Kau mengkhawatirkanku?" tebak Hanbin. Jika Jisoo mengkhawatirkannya, maka Hanbin juga melakukan hal yang sebaliknya. Ia lebih mengkhawatirkan Jisoo. Pengorbanannya terhadap teman-temannya tak bisa Hanbin bayar dengan nominal berapapun. Mungkin, jika hati Jisoo bisa digambarkan dengan nyata, sudah pasti tak berbentuk lagi dan entah kapan akan hancur lebur tanpa harapan. Namun, siapa yang mengira bahwa hatinya ternyata sekuat itu?

JUMP (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang