6

19K 832 1
                                    

Ternyata tidak semudah yang dibayangkan Zafia untuk mendapat izin keluar dari kelas di jam pelajaran terakhir itu. Banyak alasan yang sudah dikatakan Zafia, namun tidak satupun diindahkan oleh Alfa.

"Kamu duduk sekarang, Zafia! Tidak ada yang boleh keluar di jam pelajaran saya hari ini!" ucap Alfa penuh penekanan.

"Pak, saya kebelet. Cuma bentar aja, lima belas menit. Habis itu balik lagi," ucap Zafia sambil memasang wajah memelas. Demi apapun, dia sebenarnya malas untuk menampakan wajah mengerikan ini. Ini wajah baru dari Zafia yang ia nampakkan di sekolahnya.

Teman sekelas laki-laki yang menyukai Zafia terbengong dengan mulut sedikit terbuka melihat wajah menggemaskan Zafia. Zafia tak menghiraukan tatapan itu. Ia hanya fokus untuk mendapat izin dari Alfa. Ini demi masa depan yang diinginkannya!

"Sekali tidak, tetap tidak! Kamu kerjakan tugas kamu, sekarang!" ucap Alfa memandang tajam Zafia.

Itu sama sekali tak terpengaruh untuk Zafia. Tatapan itu sering didapatnya dari sang Papa, jadi wajah menyeramkan Alfa --yang membuat bulu kuduk teman sekelas Zafia meremang-- bukan apa-apa bagi Zafia.

"Astaga, Pak. Cuma sebentar apa susahnya, sih. Saya bahkan bisa menyelesaikan tugas bapak ini dalam waktu lima belas menit," ucap Zafia dengan nada jengkel dan mata melotot.

"Kalau begitu cepat kerjakan!" tegas Alfa lagi.

"Tapi, nanti bolehin saya keluar! Saya tak menerima penolakan lagi setelah ini," ucap Zafia mengambil kasar buku dan penanya.

"Bodoh, Fi. Seharusnya pak Alfa yang mengatakan itu, bukan kau," bisik Dinda di telinga Zafia. Zafia hanya mendengus mendengarnya.

Sedangkan Alfa hanya geleng-geleng kepala melihat dua murid di sebrangnya itu. Entah apa yang akan dilakukan muridnya itu diluar, yang jelas, ini adalah pengalaman pertamanya menjadi guru sekaligus pengalaman pertamanya mendapat murid seperti Zafia.

"Untung otakku didesain cemerlang kayak gini. Tidak rugi-rugi banget jadi keturunan Papa yang pinter. Ternyata berguna juga di situasi mendesak seperti ini," ucap Zafia terus mengerjakan soalnya.

Lima belas menit kemudian.

"Nah, siap." Zafia berdiri dan meletakkan bukunya di meja Alfa. "Saya pergi, bye." Zafia melambaikan tangannya pada Alfa.

"Kamu belum saya izinkan keluar, Zafia. Duduk ke kursi kamu!" perintah Alfa.

"Saya sudah menyelesaikan tugasnya, Pak. Saya ingin izin sebentar," ucap Zafia berontak.

"Biar saya periksa dulu. Kamu silahkan duduk ke kursi kamu," ucap Alfa menunjuk kursi Zafia.

"Pak--"

"Zafia!"

"Pak--"

"Zafia!"

Zafia mendengus sebal. Dia kembali ke kursinya dengan nafas memburu. Diliriknya jam di atas papan tulis dikelasnya. Kemudian ke pergelangan tangan.

"Gilak. Setengah jam lagi pulang. Bisa gagal aku," gumam Zafia. 'Apa aku pakai cara terakhir?' batin Zafia sedikit ragu.

'Sumpah! Ini mendesak banget. Aku harus lakuin ini, atau aku akan gagal,' lanjut batinnya.

"Pak? Saya ... aduh, saya anu, Pak. Itu ..." Zafia memainkan jari telunjuknya di depan dada.

"Kenapa kamu?" tanya Alfa.

"Aduh, Pak. Saya rasa ... anu. Itu ..."

"Jangan main-main dengan saya, Zafia," ucap Alfa masih terus memeriksa jawaban Zafia.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang