36

14.6K 652 8
                                    


Happy Reading🍂

"Good morning!" teriak Dinda dan Kartika seraya membuka pintu kamar rawat Zafia sedikit kasar. Bima yang berada di belakang mereka hanya geleng-geleng kepala.

Zafia yang tengah sarapan bubur bersama Syifa lantas tersedak saat mendengar teriakan Dinda dan Kartika. Alfa yang duduk di samping kasur Zafia --memangku Syifa-- segera mengambilkannya minum.

"Manusia lucknat! Untung aku tak mati," ketus Zafia sambil memberikan gelasnya pada Alfa.

Dinda dan Kartika hanya membalasnya dengan cengiran kuda. Dinda mendekati Zafia dan menyodorkan plastik hitam yang entah berisi apa. "Nih, pesananmu."

Kartika dan Bima berjalan ke arah Wisnu dan Tari yang tengah duduk di sofa. Kartika mencium punggung tangan keduanya. Bima yang sudah dianggap keluarga oleh mereka pun ikut menyalami Wisnu dan Tari.

"Apa itu?" tanya Alfa memandang Zafia dan Dinda bergantian.

"Rahasia," ucap Zafia dan Dinda bersamaan.

"Zafia!" Alfa menatap Zafia tajam.

Zafia memutar bola mata malas. "Urusan perempuan, Kak Al. Kau cukup diam dan melanjutkan menyuap Ifa. Ya kan, Sayang?" ucap Zafia mengelus kepala Syifa dengan sayang. Syifa hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

"Bang Alfa tak perlu khawatir. Yang jelas isinya bukan bom atau tali tambang yang memungkinkan Zafia bunuh diri," ucap Dinda sambil berjalan ke arah Wisnu dan Tari, menyalami mereka.

"Omongan kau! Kau kira aku bosan hidup?" Zafia mendelik tajam ke arah Dinda dan melemparkannya tisu bekas. Dinda yang berhasil mengelak menjulurkan lidahnya ke arah Zafia --mengejeknya.

"Sudah-sudah, kalian ini," lerai Tari sambil mengulurkan tangannya menyalami Dinda. "Kamu sudah sarapan, Nak?"

Dinda menggelengkan kepalanya. "Tak sempat, Tante. Tadi Dinda dan Tika telat bangun. Ditambah harus mampir ke Supermarket dulu beli pembalut untuk Fia," jelas Dinda sambil duduk di sebelah Kartika.

"Dinda, bodoh! Kau kira di ruangan ini cuma ada kau dan aku? Kau menjatuhkan harga diriku dengan mengatakan kata 'pembalut', sialan!" kesal Zafia dengan wajah memerah. Tangannha bersiap melemparkan gulungan tisu lagi pada Dinda.

Meskipun di dalam ruangan itu keluarga dekat Zafia semua, tapi yang namanya perempuan pasti malu saat ada yang mengatakan hal yang termasuk privasi pribadinya.

Semua yang ada di sana tertawa melihat wajah memerah Zafia. Tak lain juga Alfa. Syifa yang tidak mengerti apa-apa hanya memandang bingung semua orang yang ada di sana.

"Bunda, pembalut itu apa?" tanya Syifs sambil memegang lengan Zafia.

Zafia yang nafasnya naik turun karena kesal menoleh ke arah Syifa. Dia berusaha tersenyum semanis mungkin ke arah Syifa. Tapi tetap saja, senyumnya amat nampak sebuah paksaan.

"Kamu tanya sama Kak Dinda aja, Sayang. Kan tadi dia yang bicara soal itu," ucap Zafia sambil mengambil ancang-ancang menuruni kasurnya. Infus yang sudah dilepas memudahkan Zafia untuk berpergian ke mana-mana saat ini.

"Tapi, Bunda kenapa marah saat Kak Dinda mengatakan pembalut?" tanya Syifa lagi masih dengan tampang polosnya.

"Kamu tanya Ayah kamu, ya, Sayang. Kan Ayah yang menertawakan Bunda tadi," ucap Zafia dengan nasa mencibir. Dia berjalan menuruni kasurnya dan memuju kamar mandi.

"Ayah, kenapa Bunda masuk ke kamar mandi lagi? Bukannya tadi Bunda habis mandi saat Ifa datang? Dan, kenapa Bunda marah saat Kak Dinda mengatakan pembalut? Ayah juga, kenapa Ayah menertawakan Bunda? Bunda Ifa kan jadi marah," ucap Syifa memborong banyak pertanyaan dengan bibir dimonyongkan di kalimat terakhirnya.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang