7

18.6K 853 15
                                    

Zafia mengerjap-ngerjapkan matanya pelan. Menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke matanya.

Sebuah ruangan bernuansa putih menghiasi penglihatannya. Aroma obat-obatan yang dibenci Zafia berebut memasuki indra penciumannya.

Saat ia menyesa hidungnya, terdapat jarum infus yang menempel di tangan itu. Zafia berusaha mengingat kejadian terakhir hari ini.

Menyebalkan. Dia mendengus sebal saat mengingat wajah papanya saat meminta ia menikah. Wajah bersalah Abim-nya yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Juga wajah menyebalkan suami istri tak berguna yang diam saja saat suaminya ingin menikah lagi.

'Pasangan gila,' batin Zafia mendengus kesal.

Saat ia mengalihkan pandangannya ke pintu masuk, Tari, Wisnu, Dinda, Alfa dan Tisya--istri Alfa datang berombongan ke ruangan Zafia.

Dinda dan Tari langsung berlari dan memeluk Zafia saat mengetahui dia sadar. Tari mengecup pelan kening Zafia dengan air mata terus meleleh membasahi pipi yang sudah sedikit menampakkan garis-garis halusnya.

Zafia mendorong pelan bahu Tari. Ia tak suka disentuh oleh Tari. Ia membenci adegan itu. Andai saja kondisi sialan ini tak membuatnya lemas, mungkin ia akan berontak dan meminta Tari menjauh.

"Nak, kamu baik-baik saja? Kamu tenang saja, ya. Mama akan bujuk papa kamu untuk batalkan pernikahan itu. Mama juga tidak akan rela anak mama ini jadi istri kedua," ucap Tari menyeka ujung matanya dan menatap Zafia lembut, sendu, dan tatapan keibuan yang sangat Zafia rindukan.

Namun ia menepis rasa yang tiba-tiba menghampirirnya. Egonya terlalu besar untuk mengalahkan rasa senang tiba-tiba itu. Dia mendengus, melengos menghadap Dinda.

"Aku kenapa di sini, Din?" tanya Zafia dengan suara lemas. Entah kenapa tubuhnya tiba-tiba drop saat itu.

"Maag kau kambuh, Fi. Kau terlalu bersemangat dengan misi sialanmu itu, sampai kau lupa punya penyakit yang sampai harus buat kau terbaring di sini." Dinda menyeka ujung matanya yang sedikit berair.

"Tak mungkin hanya magg. Tadi aku tak merasa sakit sama sekali. Pandanganku tiba-tiba buram dan plash ... semua gelap. Katakan ada apa?" ucap Zafia masih memandang Dinda.

"Kamu punya riwayat darah tinggi," ucap Wisnu tiba-tiba. "Dokter mengatakan kamu terlalu stres juga kurang olahraga. Berhentilah bersikap bodoh dan jangan pernah tinggalkan jam olahragamu," lanjutnya menatap Zafia lekat.

Zafia memutar bola mata malas. "Bagaimana mungkin aku tak stres, kalau hanya di kurung di dalam kamar bersama buku sialan itu," gerutu Zafi melirik sinis papanya.

"Setiap akhir bulan Papa selalu mengajak kamu refresing, Zaf. Kamu selalu menolak papa dengan berbagai alasan. Tidak suka keramaian, tidak mau bersama mamamu--"

"Dia bukan mamaku," ucap Zafia belengos membuang muka.

"Berhenti bersikap kanak-kanakan. Kamu akan menikah beberapa menit lagi," ucap Wisnu dengan intonasi tegas.

"Aku tak mau menikah! Berapa kali aku bilang, aku tak mau. Dia sudah menggagalkan rencanaku!" Zafia dengan emosi menggebu-gebu menunjuk Alfa. Tiba-tiba badannya lemas lagi saat baru saja berteriak kencang.

"Semua keputusan sudah di ambil. Penghulu dalam perjalanan ke sini. Untuk resepsi akan dilaksanakan setelah kamu lulus SMA. Satu tahun lagi." Wisnu balik arah meninggalkan Zafia.

Melihat wajah Zafia, Tari segera menyusul suaminya. Ia akan berusaha membujuk dengan rayuan apapun itu agar membiarkan Zafia memilih. Umurnya masih terlalu belia untuk mengetahui menikah.

"Dinda." Mata Zafia berkaca-kaca sambil menatap sahabatnya. Dinda langsung mendekat erat tubuh sahabatnya itu.

"Kau pasti kuat, Fi. Aku ada di sampingmu bila kau butuh aku. Aku akan selalu ada di sampingmu. Hey, tahan air matamu itu. Kau tak ingin terlihat menyedihkan di mata mereka, bukan? Bertahanlah, aku punya rencana lebih gila untuk membebaskan kau," ucap Dinda penuh semangat.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang