53

10.1K 430 4
                                        


Happy Reading!

Bugh!

"Ck! Bodoh!"

Alfa mendongak dengan ujung bibir mengeluarkan darah dan pergelangan tangan kiri terasa nyeri. Didapatinya Ilham tengah berdiri dengan wajah kesal dan berkacak pinggang.

"Lo mau buang-buang duit lo dengan mainan beling itu?" tanya Ilham sambil jongkok di depan Alfa.

Alfa hanya menatap Ilham datar. Ia mengalihkan pandangannya pada tangan yang sedikit tergores dan mengeluarkan darah.

"Mendingan duit lo buat gue. Sepupu gue yang dirawat di Rumah Sakit belum cukup buang-buang duit lo, hah?" tanya Ilham masih dengan wajah jengkel. Nada bicaranya pun terkesan ketus.

Alfa mengalihkan pandangannya ke arah Ilham dengan tatapan datar. "Zafia nggak pernah buang-buang uangku. Berjuta-juta uang yang aku keluarkan jika bisa membuat Zafia sadar, akan aku gunakan."

"Ck! Bulshiit."

Tanpa mengindahkan ucapan Ilham, Alfa beranjak dan duduk di pinggir pembatas atap. Dengan cuaca Jakarta yang panas, sebenarnya Ilham ingin duduk di tempat yang teduh. Tapi, mengingat kegalauan Alfa, Ilham memilih untuk menemaninya duduk di dekat pembatas atap tersebut.

"Tangan lo bersihin dulu, gih. Jijik banget gue liatnya," ucap Ilham sambil melirik tangan Alfa. Tak mengindahkan ucapannya, itulah yang Alfa lakukan.

Ilham berdecak kesal. Dia mengambil sapu tangan di dalam kantung celananya dan mengikatkannya di tangan Alfa. Lagi-lagi tak ada respon dari Alfa.

"Zafia mau banget sama lo. Ck! Cuma liat lo jalan sama cewek lain aja pakek drama ketabrak segala. Gue ganti-ganti cewek seminggu sekali, tunangan gue diem aja, tuh," ucap Ilham sambil membenarkan duduknya. Tak ada respon juga dari Alfa.

"Memang, ya. Zafia tu orangnya cemburuan. Mau lo ngeprank dia atau malah serius selingkuh dari dia, marahnya itu sama aja. Dih, memang keturunan anak singa," ucap Ilham lagi yang sama sekali tak diindahkan oleh Alfa.

Begitulah seterusnya. Sampai langit menampakkan warna jingganya dan jam sudah memasuki waktu maghrib, Alfa tak kunjung menjawab ucapan 'tak berfaedah Ilham. Dan Ilham pun begitu. Alfa 'tak menjawab pun, dia tetap melancarkan aksinya untuk membuat Alfa bicara.

"Gue tu sedih banget sama lo. Zafia ulang tahun tadi, lo cuma ucapin 'selamat ulang tahun, Zafia'. Itu serius?" tanya Ilham.

"Hmm ... oke, oke. Gue tahu sekarang. Lo pasti nyesel 'kan cuma ngomong itu ke Zafia? Makanya lo diem ae dari tadi. Udah, sekarang kita ke sana aja. Kuylah!" ucap Ilham menarik tangan Alfa.

Belum setengah tenaga Ilham menarik tangan Alfa, gawai di sakunya berdering. Dengan cepat ia mengambilnya dan mengangkatnya saat mengetahui si pemanggil.

"Iya, Om?"

"..."

"A-pa, Om?" tanya Ilham tergagap. Alfa langsung mendongak dan mendapati wajah pucat Ilham.

"..."

"O-om tenang di sana. Jangan khawatir. Dokter juga belum keluar dari ruang rawat, 'kan? Ilham segera ke sana."

"..."

"Iya, Om. Ilham ke sana sekarang."

Ilham segera mematikan sambungan teleponnya dan berlari menuju tangga. Dia bahkan melupakan Alfa yang duduk termenung dan bingung dengan sikapnya. Namun, saat kakinya melangkahi tangga, ia langsung teringat.

"Zafia kritis! Lo mau bareng gue apa sendiri ke Rumah Sakit?" tanya Ilham.

Hanya mendengar nama Zafia, Alfa langsung berdiri dan dengan cepat melangkahkan kakinya menyusul Ilham. Langkah Ilham bahkan sampai terkalahkan akibat cepatnya lari Alfa.

"Biar gue yang nyetir. Gue kagak mau ada duit yang terbuang ke Rumah Sakit karena lo kecelakaan nanti. Lo duduk di sana!" ucap Ilham sambil menarik bahu Alfa dan membuka pintu mobil.

Tanpa membuang waktu, Alfa langsung menaiki mobil dan duduk di samping kemudi dengan wajah pucat. Ia sempat berharap pendengarannya tuli karena ucapan Ilham tadi.

'Zafia kritis?'

Mobil langsung membelah kota Jakarta yang masih ramai walau langit sudah menggelap. Alfa terus saja meneriaki Ilham agar lebih cepat lagi melajukan mobilnya.

"Ini udah ngebut, bodoh! Lo kira gue mau buang-buang duit kalau sampai nabrak orang, hah?" tanya Ilham dengan kesal. Bunyi klakson saling bersahutan karena Ilham banyak memotong jalan mobil orang-orang.

Ingin rasanya Alfa mencabik wajah Ilham yang mengatakan duit, duit, dan duit dari tadi. Tapi mengingat nyawa Zafia sedang di pertaruhkan, ia mengurung niat yang akan membuang waktunya untuk sampai di Rumah Sakit.

***

"Pasien tidak dapat diselamatkan. Akibat putusnya selang pernafasan dan infus pasien, walau hanya sepuluh menit, itu sangat berakibat fatal. Kami minta maaf," ucap Dokter di depan ruangan Zafia sambil menundukkan kepalanya.

Tari langsung pingsan di dalam pelukan Wisnu. Kartika dan Dinda meraung-raung di lantai Rumah Sakit. Bima dan Fikri berusaha menghentikannya, namun hanya pukulan yang mereka dapatkan.

"Tidak berguna! Apa tugas kalian selama ini, hah! Kalian mengirim suster yang tega memotong infus dan alat pernafasan pasiennya! Tidak berguna! Aku akan menuntut Rumah Sakit ini! Akan kutuntut kalian!" teriak Dinda dan memukul dada Dokter yang baru saja keluar dari ruangan Zafia.

"Maaf, Nona. Sepertinya yang memeriksa pasien tadi bukan merupakan perawat kami. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyamar dan memotong alat pernafasan pasien," ucap Dokter itu dengan wajah bersalah.

"Kalian 'tak berguna! Pembunuh! Rumah Sakit pembunuh!" teriak Dinda dengan mata sembab.

"Dinda, jangan begini. Ayo duduk dulu." Fikri membawa Dinda duduk di kursi tunggu.

Kaki Alfa tak dapat berpijak. Dia terduduk di lantai Rumah Sakit dengan tatapan kosong ke pintu ruangan Zafia. Sekali lagi. Ia berharap telinganya mendadak tuli saat mendengar ucapan Dinda dan Dokter tadi..

.

.

-tbc-
Jngn lupa vote&komen❤️

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang