8

18.7K 845 4
                                    

"Din, kapan aku pulang? Bosan kali aku di tempat ini," ucap Zafia sambil meletakkan buku novel yang tadi tengah dibacanya.

"Kamu akan pulang setelah Alfa sampai di sini, menjemputmu," ucap Wisnu yang kini tengah berada di sofa.

"Papa beneran minta aku pergi dari rumah? Aku beneran boleh pergi dari rumah itu?" tanya Zafia dengan mata berbinar.

Tari yang duduk di sebelahnya tersenyum kecut. Ia tahu kenapa anak tirinya ini begitu bersemangat meninggalkan rumah itu. Dialah alasan pertama dan utamanya.

"Kamu akan tinggal bersama Alfa, dia suamimu sekarang. Tugas Papa untuk menjagamu sudah papa serahkan padanya," ucap Wisnu tanpa mengalihkan pandangannya pada handphone di genggamannya.

"Yess ... inti dari percakapan ini, aku berhasil, Din. Ya, walau ada sedikit halangannya," ucap Zafia sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Kamu jaga diri di sana, Nak. Jangan tidur terlalu larut karena keasikan baca novel. Makannya juga teratur, agar magg kamu tidak kambuh lagi," ucap Tari sambil membenarkan selimut Zafia.

"Aku tahu, kau tak perlu memberitahu itu padaku. Aku bukan anak kecil yang harus diberi tahu ini-itu seperti yang kau kira," ucap Zafia sambil membuang muka dari Tari.

Dinda dan Wisnu hanya geleng-geleng kepala melihat perilaku Zafia. Anak itu memang harus diberi hukuman yang pantas. Entah bagaimana cara membuat Zafia bertingkah sangat lembut seperti dulu.

Hanya mamanya lah yang bisa membuat ia seperti itu. Dan mamanyalah yang membawa kesopanan yang telah diajarkannya pada Zafia dulu.

Ruangan itu kembali senyap. Hanya beberapa menit, karena Alfa datang cepat saat itu. Ia tak membawa Tisya ataupun Syifa. Mereka berdua sudah berada di rumah Alfa.

"Assalamualaikum, Pa, Ma." Alfa menghampiri Wisnu dan Tari bergantian dan mencium tangan mereka.

"Aelah, Pak. Tak perlu seserius itu juga kali menganggap mereka mertuamu. Aku yakin, itu tidak akan berjalan sesuai keinginan bapak," ucap Zafia mengambil ancang-ancang menuruni ranjang.

"Kau ingin ke mana, Fi?" tanya Dinda melihat Zafia turun dari ranjangnya.

"Ya, pergilah. Kata Papa aku boleh pergi dari rumah itu bersama pak Alfa, bukan?" tanya Zafia menggidikkan bahunya.

"Iya, tapi kamu tunggu dokter dulu. Infus kamu belum dilepas. Memang kamu mau pulang dengan tangan masih mengenakan jarum infu?" ucap Alfa yang masih berdiri di samping ranjang Zafia, sebelah Tari.

"Astaga, aku harus nunggu lagi? Kenapa aku dipakein infus segala, coba? Dah tahu kalau melepasnya bakalan sakit," gerutu Zafia memandang tajam tangannya yang masih mengenakan infus.

"Nggak sakit, hanya nyeri sedikit," ucap Alfa masih memandang Zafia.

"Sama aja," ketus Zafia.

Tak berselang lama dokter akhirnya datang bersama seorang suster. Dokter itu sekali lagi memeriksa keadaan Zafia. Setelahnya meminta suster untuk melepaskan infus Zafia.

"Eh, pelan-pelan, ya, Sus. Awas aja kalau aku mati karena infus sialan ini," ucap Zafia memandang nanar suster di depannga.

"Tak akan mati, Dek. Masa' hanya lepas infus, adek langsung mati. Ada-ada saja," ucap suster tadi sambil tersenyum.

"Kalau adeknya takut, jangan dilihat. Buang muka saja ke arah lain," ucap Dokter yang memperhatikan wajah pucat Zafia.

"Dinda, aku minjem badan kamu," ucap Zafia merentangkan tangannya kearah Dinda.

"Buat apa, Fi?" Dinda mengerutkan keningnya melihat kelakuan Zafia.

"Dipeluklah, biar aku tak nampak jarum sialan itu. Cih, dia menghancurkan reputasiku di hadapan dokter dan suster itu," ucap Zafia memandang nanar jarum infusnya.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang