Happy Reading 🍂"Ekhem," Alfa berdehem pelan untuk mengisi kesenyapan di ruangan Zafia. Zafia masih setia dengan posisi ngambeknya. Tangan dilipat depan dada. Kepala melengos membuang muka dari Alfa. Bibir manyun lima senti.
"Ekhem." Deheman Alfa semakin besar, tak mengubah posisi Zafia sedikit pun. Malahan, bibir Zafia tambah mencabik kesal.
"Udahlah, Zaf. Aku kan cuma cium kamu sebentar," ucap Alfa sambil merebahkan kepalanya si paha Zafia.
"Sebentar tapi sampai buat bibir aku bengkak," ketus Zafia menggerakkan pahanya, meminta Alfa menyingkir.
"Kamu buat aku marah."
"Barang gratisan kalau ditolak sayang. Cuma gitu aja marah," cibir Zafia masih enggan melirik Alfa.
"Kamu dapatnya dari laki-laki, wajarlah aku marah," ucap Alfa memainkan anakan rambut Zafia yang jatuh ke pipinya.
"Alasan yang tidak logis," ketus Zafia.
"Aku bisa belikan itu untukmu. Kamu tak perlu minta dari orang lain 'kan? Laki-laki lain lebih tepatnya," ucap Alfa menusukkan jari telunjuknya di pipi Zafia yang masih terlihat tirus.
"Dia yang beri. Aku tidak memintanya," ketus Zafia menggelengkan kepalanya agar tangan Alfa berhenti memainkan pipinya.
"Kata Bima kamu taruhan sama Denzi. Dan kamu yang memulai taruhan itu," ucap Alfa memandang Zafia.
"Taruhannya kalau dia kalah. Buktinya dia menang dan aku kalah. Jadi secara, dia yang kasih aku hapenya, bukan aku yang minta hapenya," ketus Zafia menurunkan tangannya. Tangan yang diinfus terasa nyeri karena kelamaan digerakkan.
"Coba cerita, kenapa hape itu bisa dikasih sama Denzi," ucap Alfa memainkan tangan Zafia yang diinfus.
"Ish, jangan disentuh, sakit," ketus Zafia menarik rambut Alfa agar menjauh dari tangannya.
Alfa hanya cengengesan, kemudian bertopang dagu menunggu Zafia cerita.
"Beberapa hari kemarin Denzi datang sama Fikri," ucap Zafia dengan nada masih ketus. Alfa masih menunggu kelanjutannya.
"Denzi bawa hape itu untuk kasih semangat buat aku, agar aku cepat sembuh. Dia kata hape itu untuk hadiah karena aku gagal mengalahkannya. Aneh. Memang itu sifat Denzi. Entah kenapa guru di sekolah sampai memilih Denzi jadi ketosnya, aku pun bingung."
"Fikri ke sini untuk semangatin kamu juga?" tanya Alfa dengan wajah datar.
"Orang seperti dia yakin memiliki hati baik? Omong kosong. Makhluk tak berakhlak itu hanya ingin menemui Abim dan membalas Abim karena membuat kakinya patah. Caranya? Tongkat Fikri yang menopang tubuhnya selama ini dihantamkan ke burung Abim," jelas Zafia dengan nada santai.
Alfa yang mendengar penjelasan Zafia ingin rasanya memakan gadis di depannya itu sekarang. Kenapa dia bisa mengatakan kalimat sakral itu begitu mudah, sedangkan jika gadis lain yang mengatakannya akan bersemu merah? Menahan malu.
Alfa sengaja menyentuh tangan Zafia yang diinfus. Dia sangat gemas dengan ucapan Zafia yang mengandung unsur dewasa, tapi diucapkan dengan nada lelucon --walaupun Zafia tidak sedang berlelucon saat mengatakannya.
"Kau gila!" pekik Zafia antara kaget dan sakit. Tangannya yang tidak diinfus reflek menjambak rambut belakang Alfa.
"Aduh, lepas, Zaf. Kenapa aku dijambak?" tanya Alfa dengan mimik tak berdosa.
"Kau memegang infus di tanganku, bodoh. Kau kira itu tak sakit!" pekik Zafia melepas kasar tangan di rambut Alfa.
"Maaf. Salah siapa kamu mengatakan kalimat berdosa itu," ucap Alfa menyugar rambutnya ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]
General FictionBagaimana ketika siswi SMA menikah dengan guru nya karena terjadi kesalahpahaman? Bahkan guru yang mengajar mata pelajaran olahraga tersebut sudah mempunyai istri bahkan mereka sudah dikaruniai seorang putri? Dan apa alasan istri pertamanya rela sua...