60

11.8K 474 6
                                        


Happy Reading!

"Apanya yang apa?" tanya Zafia pelan sambil menjatuhkan kakinya dari kasur Syifa. Ia berniat untuk langsung terapi saja. Agar tidak membuang waktu.

Rizal tergelak dengan ucapan Zafia. Lelaki berjas putih itu menyeka ekor matanya yang basah. Merasa terhibur dengan ucapan Zafia yang dia anggap candaan.

"Kenapa ketawa, Dok?" tanya Zafia menghentikan aktifitasnya yang sedang memakai sandal rumah untuk keluar kamar.

Rizal menatap Zafia dengan masih diiringi tawa. "Kamu memang lucu, Zaf. Mana ada gadis manis sepertimu sudah menikah. Masih terlalu muda untuk bisa membina rumah tangga. Jangan ngaco, deh."

Zafia memutar bola mata malas. Ia berdiri dengan kaki yang sudah beralaskan sandal. "Kalau nggak percaya nggak apa, Dok. Saya sebenarnya mau bilang kemarin, kalau gadis lucu yang Dokter kira adik saya itu sebenarnya anak saya."

Rizal kembali tergelak dengan ucapan Zafia. Kali ini ia terduduk di kasur Syifa sambil memegang perutnya yang mungkin sakit karena banyak tertawa.

"Apa yang lucu, sih, Dok?" tanya Zafia sampai tidak sadar menyunggingkan senyumnya. Ternyata tawa Rizal dapat berdampak ke Zafia.

"Sudah, sudah. Sepertinya kamu harus periksa mengenai otak kamu. Bisa jadi kamu beneran amnesia dan lupa diri? Masa Kakak sendiri dibilang suami, dan Adik dibilang Anak. Jangan ngaco, Zaf," ucap Rizal melambaikan tangannya di depan wajah.

"Serius. Memangnya Dokter ada dengar kalau Ifa kemarin panggil saya Kakak?" tanya Zafia membuat Rizal terdiam sesaat.

Rizal kembali melambaikan tangannya. "Saya juga tidak dengar dia memanggilmu Ibu, Bunda, Mama, Mommy, atau semacamnya. Sudah, jangan banyak menghayal. Kamu mau terapi sekarang, 'kan? Kali ini kita akan melatih otak kamu di luar ruangan. Ayo!"

"Melatih otak? Jahat banget kalimatnya. Seakan otakku sudah tidak berguna lagi," gerutu Zafia sambil melangkahkan kakinya keluar kamar.

Rizal terkekeh melihat perilaku Zafia. Hampir saja tangan itu mendarat di kepala Zafia dan mengusap kepalanya. Namun urung. Tangan itu hanya mengambang di udara sebelum sang pemilik menariknya kembali.

***

"Dari yang saya lihat kemarin, sepertinya kamu hanya trauma pada kendaraan beroda dua. Apa benar begitu?"

Zafia menganggukkan kepalanya sekali.

"Nah, untung saya cerdas. Saya ke sini tadi menggunakan motor. Kira-kira, kalau kamu coba menggunakan motor saya di halaman ini bisa tidak? Halamannya luas, pasti bisa, 'kan?" tanya Rizal sambil mengamati sekeliling.

"Selera humor Dokter besar juga. Udah tahu halaman ini bisa untuk bermain sepak bola dan bola kasti secara bersamaan, masih saja ditanya yang tentunya sudah diketahui jawabannya," gerutu Zafia sambil mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di sana.

"Haha, jelas, Zaf. Jadi Dokter psikolog harus memiliki selera humor yang bagus. Jangan kaku atau malah kejam. Bisa kabur pasien saya kalau saya bersikap demikian," ucap Rizal sambil menatap Zafia.

"Saya nggak peduli, Dok. Jadi, apa yang harus saya lakukan sekarang? Saya tidak punya tenaga untuk bermain-main dengan Dokter. Sudah tahu saya hanya bisa makan bubur, mana punya tenaga," lagi-lagi Zafia menggerutu sekaligus curhat kepada Dokter Rizal.

"Selera humor kamu juga tinggi. Sudah tahu saya juga tidak peduli, kenapa memaksakan diri untuk curhat?" Rizal mengakhiri ucapannya dengan tawa khasnya.

Zafia 'tak menyahuti. Dia mengamati sekeliling sementara Rizal ke depan untuk mengambil motornya. Pandangan mata Zafia mengarah ke arah balkon. Balkon lantai tiga, letak kamarnya dan Alfa.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang