25

15.1K 624 3
                                    


Happy Reading 🍂

Dua minggu berlalu. Zafia baru saja menyelesaikan ujian kenaikan kelasnya. Dia diberi waktu satu minggu lagi untuk mendapat rapor kenaikan kelasnya. Setelah mendapat rapor itu Zafia akan segera berangkat ke Jakarta.

Hari ini adalah hari pertunangan Bima. Nanti malam lebih tepatnya. Zafia dan Dinda kini tengah berada di di kamar Kartika, sahabat mereka yang akan bertunangan pada Bima.

"Aku masih belum menyangka, Fi. Kau benar-benar sudah menikah? Jahat sekali tidak memberi tahuku," ucap Kartika pura-pura memasang wajah merajuk.

"Kau menghinaku, Tik. Kau tak tahu alur cerita menyebalkan itu," ucap Zafia sambil memeluk bantal.

"Tapi suami kau tampan sekali, Fi. Aku dapat cerita dari Dinda, kalau kau sudah menyukainya, bukan?" tanya Kartika dengan wajah menggoda.

"Benar, Tik. Bahkan, Zafia malu-malu kucing saat aku menyebut namanya," ucap Dinda menimpali.

"Dinda! Tika! Jangan menggodaku begitu. Aku tidak suka," ucap Zafia menenggelamkan wajahnya di bantal.

"Ah, Fia memang begitu. Sekali-kalilah kita menggoda kau. Aku tak pernah lho, melihat wajah kau memerah seperti kepiting rebus begini," ucap Kartika menoel pelan lengan Zafia.

"Kalian menyebalkan. Padahal yang ingin bertunangan kan Tika, kenapa aku yang digoda terus," jerit Zafia memukul Kartika dan Dinda dengan bantal di pangkuannya.

"Ah, sudah-sudah. Jangan bertengkar lagi lah. Semalam tak bertemu Tika, kau bilang rindu. Sekarang kau ajak perang dia, Fi. Bagaimanalah kalau dia sudah menikah dengan Bima, pasti lebih lama lagi tidak bertemunya," ucap Dinda mengambil bantal dari tangan Zafia.

"Lihat saja Abim. Kalau dia berani melarang Tika bertemu kita, aku turunkan jabatan dia," ketus Zafia sambil memeluk Kartika.

"Tidak-tidak. Kau tenang saja. Kalau ingin bertemu denganku, kau bisa berkunjung ke rumahku. Lagian ini masih tunangan 'kan? Belum menikah juga," ucap Kartika membalas pelukan Zafia.

"Tapi, bukannya kau dan Dinda akan pindah ke Jakarta minggu depan? Yaah ... aku kesepian, dong," lanjut Kartika merubah raut wajahnya jadi sedih.

"Hmm, iya, ya. Asal kau tak sibuk kuliah, bisalah kita Video Call-an," ucap Zafia memberi usul.

"Iya, bisa. Tapi kau, bukannya tak punya ponsel?" tanya Kartika.

"Hehe ... sebenarnya bentar lagi aku akan punya," jawab Zafia dengan seringai lebar.

"Maksud kau?" tanya Dinda dan Kartika kompak.

"Aku taruhan dengan Denzi. Kalau aku dapat juara umum pertama, dia akan berikan aku Hape Iphone. Soalnya dia tak ingin mengakui kalau aku lebih pintar darinya, jadi aku minta taruhan saja padanya," jawab Zafia.

"Denzi? Denzi kakak sepupu Dinda?" tanya Kartika antusias.

"Iyalah, siapa lagi," ucap Zafia dengan bangganya.

"Waah, parah. Kau serius bisa melawan Denzi? Dia juara umum berturut-turut sejak sekolah dasar. Kau baru kenal dia di SMA ini dan memberikan taruhan padanya?" tanya Kartika.

"Jelas, dong. Zafia 'kan pintar. Mana ada yang bisa mengalahkan kepintaran seorang Zafia," ucap Zafia dengan nada sombong.

"Bukannya saat kau kelas satu, Denzi yang mendapatkan juara umum pertama?" tanya Kartika.

"Itu hanya kebetulan saja. Nilai kita beda-beda tipis, kok. Kalian seharusnya belain aku. Kenapa malah Denzi yang kalian bela?" tanya Zafia dengan wajah cemberut.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang