11

17.7K 773 5
                                    

Happy Reading 🍂

"Fia! Zafia, aku sudah ada di depan. Kau kenapa tak mau keluar? Zafia!" teriakan Dinda itu mengusik ketentraman makhluk yang berada di dalam rumah.

Zafia yang tengah bermain bersama Syifa di ruang keluarga, Alfa yang tengah menonton TV bersama Tisya juga berada di ruang keluarga. Mereka semua terusik dengan teriakan Dinda.

"Zaf, itu--"

"Jangan memanggilku Zaf. Fia! Kau ingat? FIA!" ucap Zafia menekan namanya ketika Alfa memanggil namanya dengan sebutan 'Zaf'.

Ingat! Hanya mamanya yang boleh menyebutnya begitu, bukan orang lain. Orang lain? Ya, kalian tahu bukan, kalau Zafia dan Alfa baru kenal beberapa hari? Jadi, Alfa masih jadi orang asing bagi Zafia. Kalau bagi Alfa? Entahlah, hanya Allah dan dia yang tahu.

"Teman kamu di luar," ucap Alfa.

"Bunda? Itu teman bunda yang mengantar Ifa pulang itu, ya?" tanya Syifa tengah merangkai puzzle miliknya membentuk rumah.

"Iya, sayang. Bunda ke depan dulu, ya?" ucap Zafia membelai kepala Syifa. Syifa hanya mengangguk dan melanjutkan mainnya.

"Fia! Bisa kubakar rumah ini kalau kau tak ingin keluar. Woi, Fia! Panas kali hari ini, tega kali kau buat sahabat imut kau ini panas-panasan di luar gini." Dinda mengibas-ibaskan tangannya ke leher. Dinda sekarang tengah berdiri di depan pagar rumah Alfa. Baru saja ia meminta supirnya untuk langsung pulang.

"Sabarlah, Din. Kalau ingin sampai ke tempat kau juga butuh proses berjalan."

Zafia mendorong pintu pagar dan tanpa menunggu perintah Zafia, Dinda segera masuk dan duduk di bawah pohon mangga yang buahnya sedikit. Di bawah sana sudah ada kursi dan meja bundar yang mengelilingi batang besar pohon mangga. Di sanalah mereka akan duduk sekarang.

"Benar-benar tak punya sopan santun," gerutu Zafia kembali menutup pintu pagar.

Di rumah itu memang tak ada penjaga gerbang seperti di rumah Zafia. ARTnya juga hanya datang pagi dan sorenya sudah pulang. Itupun hanya mengerjakan pekerjaan dapur. Ada juga tukang kebun yang hanya datang di hari minggu.

Dan asal kalian tahu, Zafia tidak peduli itu semua. Dia hanya ingin menikmati hidup bebas tanpa kekangan siapapun. Namun sialnya, dia terjebak di dalam rumah ini yang membuat dia sama sulitnya keluar bebas seperti di rumah lama.

"Jangan salahkan aku jadi begini. Ini juga kena karma karena berteman dengan kau. Dan sialnya setelah kita kenal, kalau tak bertemu dengan kau sehari saja bisa membuatku setres tujuh keliling. Entahlah kenapa begitu," gerutu Dinda menikmati angin di bawah pohon mangga.

"Itu karena kau kecantol sama keimutanku dan ketangguhanku dalam menjalani hidup," ucap Zafia membanggakan diri. Padahal ia tak tahu sedang membicarakan apa. Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Bahasa kau, terlalu aneh saat terdengar di telingaku. Ah, sudahlah, lupakan." Dinda mengibaskan tangannya. "Kapan kita ke rumah om Wisnu?" tanya Dinda kemudian.

"Hmm, kau tahu? Aku seharian ini hanya di kunci di dalam rumah. Ada peningkatan sedikit. Kalau dulu aku mengunci diri di kamar, sekarang aku mengunci diri di rumah. Untungnya ada Ifa yang menemaniku bermain," ucap Zafia yang terkesan sedang curhat.

"Lagi, aku benar-benar tak ada bedanya jika di rumah lama. Aku tidak diperbolehkan main atau sekedar jalan-jalan keliling halaman rumahnya. Cih, macam tahanan penjara aku di buatnya."

Hening. Dinda sangat malas membalas ucapan Zafia. Ia membiarkan Zafia sepuas hatinya bercerita.

"Tapi, lagi-lagi aku beruntung, karena ada Ifa. Kalau dulu teman bermainku hanya Abim, sekarang--"

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang