63

10K 441 4
                                    


Happy Reading!

"Cukup!" teriak Zafia dengan suara bergetar.

Alfa tersenyum kecut. Ia menyadari ucapannya. Sangat sadar bahkan. Entahlah. Ia 'tak mengerti apa yang dirinya sendiri inginkan. Kalimat-kalimat tadi meluncur indah pun rapi dari bibir Alfa. Belum terpikirkan sebelumnya, hanya ... sepertinya ada dorongan untuk dia mengatakan kalimat itu.

Zafia tergugu di depan Alfa dengan wajah ditutup kedua telapak tangannya. Bahunya terlihat naik turun. Sakit. Itulah yang ia rasakan. Hatinya terasa ngilu mendengar ucapan Alfa yang tidak biasa. Tapi luas biasa. Sampai-sampai ingin binasa saja dirinya dibuat.

Tangan Alfa terulur, menyentuh pundak Zafia yang bergetar akibat isakkannya. Zafia menggerakkan bahunya, menolak sentuhan Alfa.

Dengan susah payah Alfa berusaha duduk tanpa sandaran headboard. Dia mendekatkan dirinya pada Zafia. Dengan tubuh yang masih lemah, tangan Alfa berhasil merengkuh tubuh mungil Zafia.

Sempat terjadi penolakan dari Zafia. Tapi, entah karena dorongan apa, Zafia kembali diam. Dia menikmati usapan Alfa pada punggungnya, juga sesekali pucuk kepalanya.

Sekali lagi. Alfa tidak mengerti apa inginnya. Melihat Zafia menangis hatinya mencelos. Namun ada kelegaan setelah berucap demikian pada Zafia.

Kalimat-kalimat tadi, bila harus jujur, Alfa akui. Kalimat itu berasal dari lubuk hatinya. Relung hati terdalamnya. Ia sudah mengutarakan apa yang diinginnya. Ia merasa lega.

"Sudah, jangan nangis. Kakak minta maaf," lirih Alfa dengan suara lemah. Dipegang pundak Zafia agar ia bisa melihat wajah Zadia. Sembab.

"Bukan bermaksud apa pun Kakak bicara seperti tadi. Kakak hanya bingung. Kakak benar-benar tidak tahu harus berbuat seperti apa. Kakak ingin menjelaskan, tapi kamu 'tak mau dengar. Semua serba salah. Kakak harus gimana?" tanya Alfa lembut.

Zafia masih terlihat enggan menjawab. Ia menundukkan kepalanya dengan sisa-sisa isakan yang terdengar sangat kecil.

Alfa menggeserkan badannya sedikit ke tengah kasur. Ia memberi isyarat pada Zafia agar duduk di sebelahnya. Zafia menggeleng, tidak mau. Alfa memegang lengan Zafia, menariknya lembut. Melihat permohonan yang besar dari Alfa, Zafia akhirnya luluh.

Setelah duduk di sebelah Alfa, tangan Alfa terulur ke kepala Zafia. Membawa kepala itu agar bersandar di pundaknya. Zafia 'tak merespon, pun 'tak menolaknya.

"Percaya 'tak percaya, sebenarnya tadi Kakak hanya mengutarakan isi hati Kakak. Kamu sakit hati?" tanya Alfa sambil melirik Zafia yang berada di pundaknya.

Respon Zafia hanya anggukan kecil dan pelan. Namun Alfa mengetahui itu.

"Maaf ya, Sayang. Kakak benar-benar tidak bermaksud apa pun. Kakak hanya cemburu melihat kamu dekat dengan Dokter itu. Kakak mengutarakan isi hati Kakak, agar di dalam hati Kakak rasa tidak suka itu tidak berkembang biak menjadi rasa benci."

Alfa mengusap kepala Zafia dengan tangan yang berada di sebrang tempat Zafia bersandar.

"Kakak takut membencimu, Zaf. Kakak takut rasa cemburu yang Kakak simpan dapat berkembang jadi rasa posesif yang membuat kamu tidak nyaman. Mungkin saja setelah itu, Kakak akan mengekang kamu. Membatasi pergaulan kamu dengan siapa pun."

Zafia sedikit mendongak, kemudian berkata pelan, "Bukannya selama ini begitu? Kakak melarangku dekat dengan Abim, Bang Zi, dan Fikri."

Alfa terkekeh pelan. "Sebenarnya iya. Tapi kalau Kakak sampai melarangmu dekat dengan Papa bagaimana? Kakak bisa lho, cemburu dengan Papa."

Zafia reflek mencubit perut Alfa. Alfa mengaduh pelan, kemudian tertawa. Sedangkan Zafia menelungsupkan wajahnya di dada bidang Alfa.

"Aku sudah memberitahu Bang Rizal kalau Kak Al suami Zaf. Tapi dia nggak percaya. Di bilang, 'masak wajah imut kayak gini dibilang udah punya suami?' Memangnya wajah Zaf kayak anak umur berapa, sih?" tanya Zafia sambil mendongak menatap Alfa.

Dengan kepala yang semakin pusing, juga mata yang sepertinya enggan membuka, Alfa berusaha menjawab pertanyaan Zafia.

"Istri Kak Al memang masih kecil. Pantesnya memang jadi adik Kakak. Tapi, jodoh kita jadi suami-istri. Kita bisa apa, dong?" Alfa mengusap pipi Zafia dengan ibu jarinya.

Zafia merasakan suhu Alfa yang semakin tinggi. Dia segera berdiri dari duduknya dan mengecek suhu Alfa. Benar. Lumayan tinggi.

"Kita ke Rumah Sakit ya, Kak? Badan Kak Al panas banget," ucap Zafia dengan nada panik. Matanya kembali berkaca-kaca.

Alfa menggeleng lemah. "Minum obat dari kamu aja, Sayang. Nanti sembuh kok."

"Tapi sarapan Kak Al belum selesai. Baru masuk dua suap bubur. Memangnya boleh?" tanya Zafia masih dengan nada khawatir. Dia mondar-mandir di samping kasur Alfa, menimang-nimang akan melakukan apa. Sampai 'tak terasa bulir bening jatuh melalui ekor matanya.

"Boleh. Sini obatnya. Mata Kakak seperti berat mau buka," lirih Alfa.

Zafia segera menyodorkan satu pil obat dan air minum untuk Alfa. Alfa segera meminumnya.

"Sini, Sayang." Alfa membaringkan tubuhnya dan menepuk kasur di sampingnya. Zafia mendekat, dan berbaring di sebelah Alfa.

"Aku kompres ya, Kak? Badan Kakak panas banget. Aku takut," cicit Zafia sambil melingkarkan tangannya di perut Alfa. Bulir bening itu kembali meluncur membasahi pipi Zafia.

"Kakak dingin, Zaf. Kayak gini aja, ya?" Zafia hanya bisa menganggukkan kepalanya. Pelukannya pada Alfa semakin ia eratkan. Berusaha menimbulkan sensasi hangat agar bisa membuat Alfa 'tak kedinginan.

Tidak lebih dari lima belas menit, akhirnya dengkuran halus terdengar dari Alfa. Zafia bingung. Ia harus apa? Kalau ia bangun, nanti Alfa akan ikut terbangun. Tapi kalau dia tetap di sana, bagaimana dengan kondisi Alfa yang semakin panas?

***

Dua jam berlalu tanpa terasa. Masih di posisi yang sama. Zafia semakin panik. Karena panas Alfa terasa semakin tinggi. Ia takut Alfa kenapa-napa.

Dengan gerakan super hati-hati, Zafia berusaha terlepas dari pelukan Alfa. Berhasil!

Dengan gerakan yang cepat, Zafia segera turun ke bawah. Memberitahu Tari agar segera menelepon Dokter. Setelahnya ia kembali ke kamar dengan alat kompresan di tangannya.

Zafia memeras kain basah yang terasa hangat itu agar bisa ditempelkan ke kening Alfa. Sangat perlahan Zafia meletakkannya di kening Alfa. Takut Alfa akan terbangun.

Zafia menghembuskan nafas lega. Akhirnya kain itu bisa menempel di kening Alfa. Semoga panas Alfa segera turun. Semoga juga, Dokter segera sampai.

Zafia mengusap pipi tirus Alfa. Pipi yang dulu terlihat sedikit cubby kini terlihat sangat tirus. Ini salahnya. Zafia sangat merasa, memang ini salahnya.

Alhamdulillah karena Alfa tidak memiliki riwayat magg. Akan lebih menyulitkan bila Alfa mengalaminya. Zafia pun 'tak tega membayangkan itu.

Ceklek!

Pintu kamar itu terbuka. Menampakkan sosok Tari dan Dokter paruh baya yang memasukinya. Dokter itu segera memeriksa Alfa. Sedangkan Zafia memilih keluar bersama Tari. Zafia tidak sabar. Ia harus mengetahui penjelasan itu segera. Walaupun dari Tari...

.

.

.

-tbc-
Vote&komen😗.


-Rabu,25Aguatus2021-

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang